|
|
Kronologi Kasus Pemecatan Produser Liputan 6 SCTV
Kawan-kawan, Ini
kronologi yang telah Saya buat untuk kawan-kawan di AJI.
1. Pada hari Selasa, 20 Mei 2003 (hari kedua setelah diumumkannya status
Darurat Militer di Aceh), Saya selaku Produser Liputan 6 Pagi diminta
menghadiri rapat perencanaan program Dialog Khusus. Rapat tersebut
dihadiri oleh Billy Soemawisastra (Senior Manager Progsus), Rosianna
Silalahi (Anchor) dan Totok Suryanto (Produser). Saya diundang rapat
karena akan dipindahkan dari posisi Produser Liputan 6 Pagi menjadi
Produser Program Khusus (Debat Minggu Ini). Rapat tersebut membahas
topik untuk Dialog Khusus edisi Rabu, 21 Mei 2003 yang akan ditayangkan
pukul 23.30 WIB. Dalam rapat disepakati bahwa topik yang diangkat adalah
Pemberalkuan Darurat Militer di Aceh. Angle yang disepakati adalah
bagaimana menghindari jatuhnya korban sipil. Daftar narasumber yang
disepakati antara lain : Pangdam Iskandar Muda
(Mayjen Endang Suwarya), koban sipil DOM (anonim),
Maruli Tobing (Kompas), Tengku Amri bin Abd. Wahab
(bekas Penglima Operasi GAM) dan Imam Sudja (tokoh
Aceh). Ide untuk memunculkan korban sipil DOM adalah dari Saya.
Tujuannya untuk meningatkan publik dan pemerintah bahwa kasus serupa
jangan sampai terulang. Rapat telah sepakat. (Catatan = forum rapat
redaksi adalah forum tertinggi). Khusus untuk sumber korban DOM, saya
diminta langsung turun ke lapangan (ke Aceh) karena menyangkut contact
person dan safety (supaya
jurnalis yang SCTV yang ada di Aceh tidak mendapat
tekanan macam-macam setelah wawancara). Selain itu, saya juga diminta
mewawancarai Pangdam.
2. Bersama seorang cameraman (Sdr. Anam Butono) pada hari Selasa, 21 Mei
2003, saya tiba di Banda Aceh dan melakukan wawancara dengan korban DOM
di sebuah lokasi. Setelah wawancara, hasil wawancara Saya kirim ke
Jakarta melalui satelit (feeding) di kantor Telkom Banda Aceh sekitar
pukul 14.30 WIB. Pada pukul 15.00 WIB, saya menuju kantor Kodam Iskandar
Muda untuk melakukan wawancara rekaman dengan Mayjen Endang Suwarya.
Setelah wawancara, saya kembali mengirim gambar via satelit, dan setelah
itu menjemput narasumber Bapak Imam Sudja untuk dialog jarak jauh dengan
studio di Jakarta.
3. Semua proses rekaman (taping) acara dialog khusus sudah selesai pada
pukul 21.30 WIB dan semua materi telah diproses di Jakarta. Itu berarti,
secara substansi, Saya sudah tidak memiliki kendali lagi terhadap materi
tayangan, karena saya masih berada di Banda Aceh.
4. Dialog Khusus ditayangkan pada pukul 23.30 WIB.
Segmen pertama menayangkan wawancara Saya dengan
Penguasa Darurat Militer. Segmen kedua, menayangkan
korban DOM yang memberika kesaksian bagaimana ia
ditangkap, disiksa dan dianiaya oleh oknum-oknum TNI
lengkap dengan menunjukkan luka bekas tusukan bayonet, hanya karena ia
dituduh GAM. Beberapa bagian dari wawancara tersebut bahkan diedit
karena menggambarkan kebrutalan seperti ia menyaksikan dua buah kepala
yang sudah dipenggal dll. Segmen selanjutnya, menghadirkan Salim Said (Maruli
Tobing dan Tengku Amri batal diundang) dan Imam Sudja. (Catatan =
sebelum ditayangkan, rekaman kesaksian korban DOM tersebut
telah mendapat persetujuan dari Wakil Pemimpin
Redaksi, Don Bosco Selamun.
5. Sekitar pukul 01.00 WIB (hari Kamis, 22 Mei 2003), Saya yang ketika
itu masih menginap di Hotel Kuala Tripa, mendapat kabar dari Jakarta
bahwa sejumlah pejabat tinggi TNI marah dengan tayangan korban DOM tadi.
Padahal, Anchor (Rosianna Silalahi) telah menyatakan bahwa tayangan
tersebut untuk mengingatkan berbagai pihak agar kasus salah tangkap
korban sipil tidak terulang dalam pemberlakuan Darurat Militer di Aceh
yang baru berusia 3 hari. Secara runut, (baik menurut Saya pribadi, Rosi
atau Produser Totok Suryanto, tayangan tersebut tidak berat sebelah dan
memiliki misi editorial yang jelas dan tidak ada tendensi
mendiskreditkan siapa pun, terutama TNI).
Malam itu saya juga menerima SMS yang berisi keberatan seorang petinggi
TNI kepada pemilik SCTV dan oleh sang pemilik, SMS tersebut diteruskan
ke Pemimpin Redaksi Karni Ilyas.
6. Hari Jumat, 24 Mei 2003. Saya dipanggil oleh
Senior Manager Bidang Pemrosesan, R. Nurjaman (jabatan > ini mengepalai
semua Produser). Ia tiba-tiba membatalkan keputusan yang semula hendak
memindahkan Saya dari Produser Liputan 6 Pagi ke Produser Program Khusus
dengan alasan, saya dibutuhkan untuk merancang program Pemilu di Liputan
6 Pagi. Padahal, berdasarkan hasil Rapat Pimpinan sebelumnya, Saya sudah
diputuskan untuk menjadi Produser Program Khusus di bawah Sdr. Billy
Soemawisastra. (Catatan = hari itu, tanggal 24 Mei 2003, adalah batas
akhir berlakunya perjanjian kontrak kerja masa percobaan Saya sebagai
Produser di SCTV. Keesokan harinya, tanggal 25 Mei 2003, Saudara Makroen
Sanjaya (Senior
Manager Peliputan), menjabat tangan saya da
mengucapkan selamat telah diterima dan berhasil
melalui masa percobaan berdasarkan hasil Rapat
Pimpinan. Saya hanya tinggal menunggu SK (Surat
Keputusan Pengangkatan) sebagai karyawan tetap.
Karena Saya pikir mungkin masih terbentur masalah
teknis, Saya tidak merasa perlu buru-buru
mempertanyakan SK tersebut).
7. Pada hari yang sama, dengan alasan yang tidak
jelas, Sdr. R. Nurjaman tiba-tiba melarang saya
membuat liputan feature tentang kehidupan penyair
jalanan di Aceh yang Saya liput ketika berada di Banda Aceh. Lewat sajak,
dan lagunya, penyair tersebut
menyuarakan pentingnya perdamaian dan menghargai nyawa
orang lain. Naskah dan gambar yang belum Saya susun, dan belum jadi,
justru dilarang untuk dilanjutkan dengan alasan bisa memperkeruh suasana.
Tidak dijelaskan, suasana seperti apa yang akan semakin
keruh. Padahal, sekali lagi, tayangan tersebut belum jadi. Lalu darimana
kesimpulan bahwa produk
jurnalistik itu bisa memperkeruh suasana?
Belakangan, di forum-forum lain, khususnya Rapat
Pimpinan, Nurjaman selalu menyatakan bahwa tayangan
tentang penyair Aceh tersebut berisi puji-pujian
terhadap GAM. Alasannya, dia mengaku telah membaca
terjemahan yang saya buat. Padahal, Saya sendiri
belum menterjemahkan sama sekali, lirik-lirik syair
itu. (Catatan = pengakuan yang sama juga dilontarkan
Nurjaman kepada Rosianna Silalahi).
8. Sejak hari itu, sebagai Produser, Saya juga
disupervisi oleh Produser lain, khususnya
berita-berita yang saya sunting tentang Aceh.
Padahal, sudah hampir enam bulan terakhir, Saya
dipercaya sebagai Produser On Line (produser yang
bertugas pada saat tayangan) Liputan 6 Pagi.
9. Hasil supervisi tersebut antara lain, adalah
dikumpulkannyasemua naskah-naskah berita yang telah
saya edit. Dari sana, ditarik kesimpulan bahwa Saya
telah melakukan pemelintiran berita, pemutarbalikan
fakta, membuat berita bohong, hingga tuduhan memiliki
agenda politik tertentu dengan memanfaatkan layar
SCTV. Saya juga dituduh sebagai anggota Forkot (Forum
Kota), anti-TNI dan memiliki karakter jurnalistik yang
tendensius terhadap TNI dan pemerintah.
10. Pada suatu hari (Saya lupa tanggalnya), Saya
mendapat kabar dari kawan-kawan Aceh, bahwa
narasumber yang memberikan kesaksian tentang kekejaman
DOM, berada dalam kondisi terancam. Saya segera
menghubungi Sdr. Billy Soemawisastra (Senior Manager
Program Khusus) untuk membicarakan tentang program
perlindungan saksi yang tidak dapat saya uraikan di
sini demi keamanan Narasumber. Sdr. Billy menolak
semua usulan Saya, dan dia menyatakan bahwa dia takut
terlibat terlalu jauh dengan melindungi Narasumber
tersebut. Saya merasa bahwa SCTV telah dengan sengaja
menelantarkan narasumber dan menunjukkan sikap yang
tidak bertanggungjawab. Padahal, rating tayangan
Dialog Khusus tentang korban DOM itu mencapai angka 3
(tiga). Biasanya, Dialog Khusus dengan topik politik
ratingnya maksimal 2 (dua), kecuali topik kontroversi
Inul yang bisa mencapai rating 5 (lima). Karena
redaksi tidak menunjukkan itikad baik, Saya mengambil
inisiatif sendiri bersama Rosianna Silalahi untuk
melakukan program perlindungan saksi kendati dalam
keterbatasan.
11. Pada hari Selasa, 10 Juni 2003, Saya kembali
dipanggil R. Nurjaman untuk memberi kesempatan kepada
Saya menjelaskan semua tuduhan yang telah
dilontarkannya di Rapat Pimpinan yang tidak Saya
hadiri sehingga tidak dapat membela diri. (Catatan =
Rapat Pimpinan biasanya dihadiri oleh Pemimpin Redaksi
Karni Ilyas, Wakil Pemimpin Redaksi Don Bosco Selamun,
Senior Manager Peliputan Makroen Sanjaya, Senior
Manager Penayangan Nunung Setiyani, Senior Manager
Pemrosesan R. Nurjaman, Senior Manager Program Khusus
Billy Soemawisastra dan Kepala Litbang Iskandar
Siahaan).
Dalam pertemuan empat mata tersebut, saya menjelaskan
kasus per kasus, berita per berita, dan substansi per
substansi dari semua item naskah/tayangan yang
dianggapnya merupakan pelintiran itu. Setelah saya
klarifikasi, Nurjaman menyatakan bisa memahami dan
menerima argumentasi saya. Ia bahkan menawarkan Saya
untuk dipertemukan langsung dengan Karni Ilyas. Saya
menyanggupi, tetapi hingga kini, tawaran itu tidak
direalisasikan. Dalam pertemuan tersebut, Nurjaman
sekaligus tidak dapat membuktikan semua tuduhannya
bahwa Saya telah melakukan pemilintiran dan manipulasi
berita tentang Aceh. Sebaliknya, ia justru mengaku
bingung harus memutuskan apa tentang nasib Saya dan
meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Dalam
pertemuan itu, Saya justru bisa membuktikan bahwa ada
upaya yang terkesan sistematis di ruang redaksi
Liputan 6, untuk menutup-nutupi (cover up)
berita-berita tentang Aceh, seperti gambar-gambar
eksklusif tindak intimidasi TNI terhadap warga sipil,
dan kasus korupsi Abdullah Puteh, yang kendati
dokumennya telah saya presentasikan dan saya susun
dalam bentuk TOR/Wish List (bersama Ivan Haris),
tetapi tidak difollow-up hingga kini dengan alasan
tidak prioritas.
Saya juga mempersolkan tindakan yang terindikasi
sistematis untuk meng-cover-up kasus-kasus tertentu di
luar Aceh, seperti skandal Bank Lippo. Nurjaman tidak
dapat memberikan argumen apa pun, dan untuk kesekian kalinya, dia
menyatakan bingung dan akan memberikan keputusan dalam waktu tiga hari,
tentang nasib saya.
12. Saya sadar, posisi Saya telah terancam. Tetapi
dalam kondisi demikian, Saya tetap menghindari
mempertanyakan Surat Keputusan pengangkatan yang konon sudah diputuskan
di Rapat Pimpinan dan sudah melalui batas waktu berakhirnya kontrak masa
percobaan saya (24 Mei 2003). Hal tersebut saya lakukan, agar tidak
timbul kesan, Saya hanya berusaha menyelematkan pekerjaan Saya (walaupun
Saya berhak melakukannya), dengan tiba-tiba mempertanyakan SK yang
selama ini tidak Saya tanyakan dengan asumsi masih terbentur
masalah-masalah teknis administrasi.
13. Pada hari Jumat, 13 Juni 2003, pukul 22.30 (seusai jam kerja sift
Saya), Nurjaman kembali memanggil Saya, dan menyatakan bahwa dirinya
telah memutuskan untuk memberhentikan Saya. Dia menegaskan bahwa semua
argumen Saya tentang naskah-naskah berita yang dianggapnya pelintiran
bisa dia terima, masuk akal dan tidak ditemukan unsur kesengajaan
melakukan pemelintiran berita. Namun, karena suasana psikologis hubungan
kerja antara dia dengan Saya sudah tidak kondusif dan mengenakkan bagi
dia sendiri, maka Saya harus keluar. Nurjaman menyatakan bahwa Saya
masih akan menerima gaji hingga bula Juli, namun mulai hari Sabtu, 14
Juni 2003, Saya sudah tidak perlu lagi datang ke kantor redaksi Liputan
6 SCTV. Dia mempersilahkan Saya banding ke Pemimpin Redaksi (dari semula
janji mempertemukan, diubah menjadi saran untuk banding) bila Saya tidak
dapat menerima keputusan pemecatan ini. Dia bahkan menyarankan Saya
untuk pindah profesi dan tidak perlu menjadi wartawan lagi, dengan
alasan, karakter Saya tidak cocok sebaga
wartawan.
14. Pemecatan (saya anggap pengusiran) tersebut juga
tidak disertai surat-surat dan alasan yang jelas.
Tidak ada surat peringatan kesalahan dan
jenis-jenisnya. Selama masa habis kontrak 24 Mei 2003 hingga 13 Juni
2003, Saya juga tidak mendapat surat perpanjangan, surat keterangan,
apalagi Surat
Pengangkatan yang sebelumnya pernah dijanjikan. Yang Saya terima justru
vonis PHK yang disampaikan secara lisan.
Jakarta, 14 Juni 2003
Salam,
Dandhy Dwi Laksono
(deenda1@yahoo.com) |
|