|
|
Ini email dari Wahyu 'Komang' Dhyatmika
mantan anggota AJI Sby, adik kelas di Komunikasi Unair Surabaya, yang kini
jadi wartawan Tempo Jkt. Ia pekan lalu pulang dari Aceh. Seperti
diketahui, liputan Tempo 'bermasalah' karena sempat menulis 7 pemuda
yang ditembak mati di sana adalah warga sipil. Wartawannya kemudian
berurusan dengan aparat atas tuduhan 'TNI salah tembak' itu. Demi
keamanan, mereka segera ditarik ke Jakarta....
Kisah reportase-ku di Aceh yang sampai ke telingamu, jelas sudah tak
akurat lagi. selain bukan dari tangan pertama, bumbu-bumbu heroisme
pastilah sudah ditambahkan di sana sini, untuk membuat kisahnya makin
mengharu biru. Itu biasa. seperti kabar lainnya, semakin jauh dari
penutur asalnya, makin kabur faktanya.
Jo, aku sendiri merasa gagal bertugas di Aceh. Bayangkan Jo, setiap
hari melihat orang menangis kehilangan keluarganya, meratapi rumahnya
hangus terbakar, dan menahan perih perut yang lapar karena dipaksa
mengungsi. Dan, apa yang bisa kulakukan? tidak ada Jo, tidak ada.
Menulis?
Aku sudah coba Jo. Aku tuliskan semua yang aku lihat dan aku dengar.
Tapi, itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Ketika tujuh pemuda
kampung ditembak di Matangmamplan, Peusangan, aku tulis beritanya.
Tapi apa yang terjadi? tentara masuk ke kampung itu, mencari siapa
warga yang bertutur pada wartawan. Mereka mengambil satu orang,
mengajaknya ke markas tentara dan menyodorkannya pada wartawan yang
lain. "Nih lihat. Orang ini yang katanya saksi mata. ternyata dia
tidak melihat sendiri penembakan itu. Berita kalian boong!"
Ketika keesokan harinya, aku kesana lagi. Semua pintu rumah warga
terkunci. tak ada lagi yang berani ngomong ke wartawan. pernah, aku
masuk ke sebuah kampung di Peudada, Bireuen. Di sana, seorang suami
dan ayah dua anak balita ditembak mati tentara. peluru menembus
kepalanya. tiga warga sisanya dipukuli sampai babak belur. BABAK
BELUR, JO! aku liat sendiri mereka di rumah sakit. tergeletak,
mengerang-erang, marah, sedih dan tak berdaya.
Apa yang terjadi? tentara mengirim tim sekali lagi ke kampung itu.
Mengakui ada pemukulan, tapi laki-laki yang ditembak, menurut
mereka, pemberontak yang mau melarikan diri. Melarikan diri
bagaimana? wong istrinya sendiri mengaku, suaminya sudah babak belur
sejak di rumah. berjalan pun sudah tidak bisa! mau melarikan diri
bagaimana, Jo?
Istrinya, tersedu sedan, cerita semua. Dia berani cerita, sambil
berharap, kesaksiannya akan membuat kematian suaminya diusut tuntas
dan pembunuh kekasihnya itu diadili. Dia berharap besar pada kami,
wartawan2 yang hari itu mewawancarainya.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa, Jo. Wajah si ibu itu masih
lekat di kepalaku. juga wajah korban yang lain. seorang perempuan
muda, yang rumahnya diobrak-abrik tentara. katanya, mereka numpang
menginap, tapi seisi rumah jadi porak poranda, ayam peliharaan
mereka dipotong begitu saja, persediaan beras mereka habis, pakaian
dibawa semua. Menangis, Jo! semua orang yang kami wawancarai
menangis...
Bayangkan, kamu masuk ke sebuah kampung, yang baru saja dilewati
operasi tentara. begitu mobil kamu sampai, semua warga keluar rumah,
menyambut kamu dengan sedu sedan, dengan tangis, dengan sumpah
serapah kekecewaan.
Mereka memeluk kamu seperti kamu juru selamat mereka. memeluk kamu,
Jo! betul-betul memeluk kamu sambil berharap...
Setiap hari di Aceh, seperti di neraka. emosimu digulung-gulung, naik
turun.
Ketika aku diperiksa polisi militer di Lhokseumawe, mereka bilang
beritaku tidak akurat karena sumberku kebanyakkan orang GAM. Lalu apa
karena mereka GAM, lalu kesedihan mereka tak layak dapat halaman
surat kabar? Penderitaan mereka jadi sah? Apa karena mereka
memberontak, melawan pemerintah yang sah, mereka juga jadi sah untuk
dipukuli, ditembaki, dihardik, dicerca?
Iya, Jo. Sumpah, sampai sekarang aku belum jadi apa-apa.
Ketika tekanan tentara menguat, aku malah lari ke jakarta. Ketika
polisi militer mencari-cari aku, mau diperiksa entah untuk yang
keberapa kali, aku ngabur terbirit-birit ke jakarta.
Lupa pada tangisan istri yang suaminya ditembak tentara di depan
kepalanya sendiri. lupa pada keluhan guru, yang tak bisa mengajar
muridnya karena diancam GAM. lupa pada anak-anak sekolah yang
terpaksa ujian di meunasah, karena gedung sekolah mereka dibakar.
anak-anak kecil, umur 7 tahun, yang wajah kecilnya sangat lugu dan
tak berdosa, yang bahkan tak berani lagi mengenakan seragam merah
putih, tapi tetap nekat ikut ujian sekolah...
Aku melupakan semua itu, jo. aku lebih mementingkan diriku sendiri.
Ya Tuhan, Jo, mereka meregang nyawa di Aceh sana. menunggu siapapun
yang bisa menolong mereka. tapi, aku malah lari, tanpa berani
menoleh sedikit pun,pucat pasi dengan jantung berdebar... hanya
karena ancaman akan diperiksa polisi milliter...
selalu,
wayoyu99
|