|
|
Tentang Manusia dalam
Perspektif Ilmu Barat
Meskipun makna kata dari psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
psike (jiwa), pada kenyataannya psikologi yang kita kenal dewasa ini sangat
sedikit, bahkan hampir mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kejiwaan dalam pengertian awalnya. Karena tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka psikologi mengalami penurunan makna menjadi ilmu yang
sekedar memahami tingkah laku dan pengalaman manusia yang tampak dan dapat
diamati. Dengan perkataan lain manusia hanya dilihat dari unsur materialnya
saja. Akibatnya penyelesaian masalah tentang manusia menjadi kurang
menyeluruh, parsial karena menanggalkan unsur terpenting dari manusia yaitu
psike itu sendiri. Adapun tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kembali
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam perspektif Barat,
guna memahami latar belakang serta alasan mengapa penelaahan tentang manusia
menjadi terbatas pada aspek materialnya saja.
Kajian manusia pada masa Yunani Kuno
Perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya mengikuti perkembangan pemikiran
dari para filsuf di mana induk dari pengetahuannya pun berasal dari filsafat.
Puncak pemahaman tentang kejadian-kejadian di muka bumi, yang merupakan
suatu cikal bakal dari ilmu pengetahuan, terjadi pada masa Yunani kuno.
Kebudayaan Yunani pada masa itu dengan mitologi tentang dewa-dewa yang
dimilikinya, memunculkan sifat ingin tahu dan rasa penasaran untuk
mengetahui rahasia alam. Diawali dengan usaha-usaha untuk mengenali
gejala-gejala alam yang terjadi dimuka bumi, maka fisuf-filsuf Yunani kuno
mengembangkan filsafat alam, suatu kajian pemikiran mengenai sebab-sebab
hadirnya atau asal usul alam semesta. Thales (abad ke 6 SM) salah seorang
yang termasuk dalam filsuf-filsuf pertama Yunani mencoba mencari arkhe (asas
atau prinsip) alam semesta. Menurutnya prinsip dari semuanya di alam ini
berasal dari air dan semuanya akan kembali menjadi air. Disamping itu Ia
mengemukakan bahwa "kesemuanya itu penuh dengan Allah-Allah".
Tradisi berpikir secara mendasar dilanjutkan oleh muridnya Anaximandros (kira-kira
hidup antara tahun 610-540 SM), Anaximandros juga mencari prinsip terakhir
yang dapat memberi pengertian tentang kejadian-kejadian alam semesta. Tetapi
ia tidak memilih salah satu bentuk yang diamati oleh panca indra. Menurutnya
prinsip segala sesuatu adalah apeiron : "yang tak terbatas" . Segala sesuatu
berasal dari apeiron dan akan kembali ke apeiron. Apeiron itu bersifat ilahi,
abadi, tak terubahkan dan meliputi segala-galanya. Bagaimana dunia dapat
timbul dari prinsip yang tak terbatas tersebut? Penyebabnya adalah suatu
perceraian (ekrisis), maka dilepaskan dari apeiron itu unsur-unsur yang
berlawanan (ta enantia); yang panas dan yang dingin, yang kering dan yang
basah. Unsur-unsur ini selalu berperang satu dengan yang lainnya. Tetapi
bilamana satu unsur menjadi dominan, maka karena keadaan itu dirasakan tidak
adil (adikia). Jadi ada satu hukum yang menguasai unsur-unsur dunia dan
hukum tersebut dengan suatu nama etis yang disebut keadilan (dike). Ajaran
Anaximandros dapat dikatakan membuka jalan baru untuk mengerti tentang
keberadaan dunia. Ajaran-ajarannya terutama tentang unsur-unsur yang
berlawanan banyak dipakai oleh filsuf-filsuf Yunani selanjutnya.
Adapun filsuf seperti Socrates dan Plato melangkah lebih mendalam dengan
melakukan telaahan tentang alam atau dunia yang lebih kecil, mikrokosmos,
yaitu manusia. Sokrates menyebutkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah
jiwanya (psikhe) menjadi sebaik mungkin. Tingkah laku manusia hanya dapat
disebut baik bila manusia menurut kepada intisarinya yaitu psikhe-nya (tidak
hanya aspek lahiriah) dijadikan sebaik mungkin. Dengan perkataan lain dapat
dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan). Bagi
bangsa Yunani eudaimonia berarti kesempurnaan atau lebih tepat lagi
dikatakan bahwa eudaimonia berati mempunyai daimon yang baik, dan yang
dimaksud dengan daimon adalah jiwa. Menurut Socrates, manusia dapat mencapai
eudaimonia atau kebahagiaan dengan arete. Arete adalah keutamaan seorang
berdasarkan kodrat untuk apa ia dicipta. Seorang negarawan mempunyai arete
yang memungkinkannya menjadi politikus yang baik. Seorang tukang sepatu yang
mempunyai arete akan menyebabkan ia menjadi seorang tukang yang baik. Dengan
arete ia mendapat pengetahuan yang memungkinkannya menjadi seorang tukang
atau politikus yang baik.
Pemikiran Socrates tersebut dapat dikatakan merupakan titik tolak dalam
usaha untuk memahami lebih jauh dan mendalam tentang manusia. Manusia
memiliki psikhe atau jiwa yang harus dikembangkan terus agar menjadi baik
sehingga dapat memperoleh kebahagiaan. Plato (427 SM-347 SM), salah seorang
murid Socrates menegaskan pandangannya bahwa manusia adalah makhluk yang
terpenting diantara segala makhluk yang terdapat di dunia dan sebagaimana
juga gurunya, ia menganggap bahwa jiwa sebagai pusat atau intisari
kepribadian manusia. Jiwa bersifat baka dan sudah ada terlebih dahulu
sebelum keberadaannya di dunia material dan fana ini yaitu alam lain yang
disebut Alam Ide. Kelahiran manusia di dunia membuat manusia lupa akan Alam
Ide tersebut. Meski terlupa akan Alam Ide tersebut, tapi pengetahuan tentang
Alam Ide tersebut tidak hilang, pengetahuan tersebut tetap tinggal dalam
jiwa manusia dan dapat diingatkan kembali. Dengan demikian pengetahuan pada
dasarnya adalah pengenalan kembali atau pengingatan (anamnesis) terhadap
Alam Ide yang dulu pernah dikenalnya.
Oleh karena itu ada dua bentuk pengetahuan manusia yaitu pengenalan indrawi
(doxa) tentang benda-benda di alam dunia yang senantiasa dalam keadaan
berubah serta pengetahuan akal budi (episteme) menyangkut pengetahuan
tentang ide-ide yang abadi dan tak terubahkan. Plato menyebutkan bahwa
benda-benda kongkrit di alam dunia ini pada dasarnya adalah tiruan dari Alam
Ide, maka pengetahuan indrawi dapat menjadi jalan untuk mengenal atau
mengingat kembali Alam Ide. Seperti gurunya, Plato berpendapat bahwa tujuan
tertinggi adalah eudaimonia atau mempunyai jiwa (daimon) yang baik. Dengan
demikian manusia menurut Plato adalah kesatuan unsur material dan non
material yang tidak terpisahkan. Dengan dualisme ini manusia dapat menemukan
atau mengingat kembali Alam Ide yang dulu pernah dikenal.
Para filsuf Yunani kuno seperti Socrates dan Plato mencoba memahami manusia
dalam kerangka berpikir yang sangat universal. Manusia dipandang sebagai
bagian dari makrokosmos. Sebagaimana manusia dilihat terdiri dari tubuh dan
jiwa, maka alam semesta dilihat sebagai tubuh dan jiwa, yang diciptakan oleh
"Sang Tukang" (Demiurgos). Dapat dikatakan ciri khas dari pemikiran pada
masa Yunani kuno ini adalah melihat segala sesuatu sebagai satu kebenaran,
sebab itu para filsuf akan memikirkan alam sebulat-bulatnya. Orang Yunani
tidak memandang ilmu secara spesifik melainkan ilmu universal. Cara berpikir
serta pengetahuan yang mendasar dan unversal dibarengi kecerdasan yang
dimilikinya memudahkan Aristoteles (murid Plato yang hidup pada tahun
384SM-322SM dan belajar di akademi milik Plato) menguasai sampai mendalam
hampir segala ilmu yang diketahui pada masanya. Aristoteles adalah ahli
dalam ilmu alam, hukum, etik dan lain-lain.
Kajian manusia pada masa Romawi
Setelah masa Aristoteles, terjadi peralihan corak pemikiran filsafat Yunani
menjadi filsafat Helen-Romana terutama disebabkan akibat perluasan wilayah
kerajaan Romawi pada masa Alexander Agung, murid dari Aristoteles. Dengan
makin meluasnya wilayah kerajaan Romawi, keinginan memperoleh pengetahuan
teoritis makin beralih kepada ilmu-ilmu khusus yang lebih berguna bagi
penghidupan sehari-hari. Kepercayaaan akan agama rakyat menyusut. Orang
makin mencari hasil praktis yang berguna untuk meningkatkan kesenangan hidup
sebagai akibat perbudakan dan kondisi sosial yang menekan. Ilmu yang
berkembang pada masa itu adalah etika, suatu ajaran tentang martabat hidup
di dunia, maupun pengetahuan khusus yang sifatnya praktis. Dalam periode ini
misalnya berdirilah sekolah Epikuros yang didirikan oleh Epikuros (341
SM-217SM).
Berlainan dengan Aristoteles, Epikuros tidak mempunyai perhatian terhadap
penyelidikan ilmiah. Ia hanya mempergunakan pengetahuan yang diperolehnya
sebagai alat membebaskan manusia dari ketakutan agama, yaitu rasa takut
terhadap dewa-dewa yang ditanam dalam diri manusia oleh agama Yunani kuno.
Menurutnya ketakutan akan dewa-dewa tersebutlah yang menjadi penghalang
besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Ia mengembangkan fisika praktis
untuk membebaskan manusia dari kepercayaan akan dewa-dewa. Ia mencoba
menjelaskan bahwa segala yang terjadi bersifat kausalitas dan mekanis. Tidak
perlu dewa-dewa diikutsertakan dalam peredaran alam ini. Setelah periode
Aristoteles dapat dikatakan filsafat Yunani kehilangan masa keemasannya dan
dan jatuh pada penelaahan yang sifatnya spasial dan kehilangan sifatnya
untuk menelaah sesuatu secara mendasar.
Kajian Manusia pada Abad Pertengahan
Setelah kelahirannya, agama Kristen mulai menyebar dan memberi warna dalam
perkembangan pemikiran tentang manusia. Thomas Aquinas adalah seorang
pendeta yang meletakkan pemikiran-pemikiran Yunani kuno dalam baju gereja
dan ajaran Kristen. Abad pertengahan merupakan abad kegelapan bagi
perkembangan pengetahuan di Barat karena dominasi yang sangat kuat dari
pihak gereja. Dogma gereja menjadi suatu yang harus dipatuhi, serta menjadi
kunci mutlak agar dapat memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Akibat kondisi yang dogmatis, alam pemikiran menjadi terbelengu karena harus
mengikuti ajaran-ajaran atau "hukum Tuhan". Sesuai dengan ajaran Kristen,
manusia dipandang sebagai mahluk Tuhan yang harus "patuh dan tunduk" dengan
gereja sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.
Kajian Manusia pada Masa Renaissance
Pandangan abad pertengahan itu berubah secara mendasar pada abad ke
enambelas dan tujuh belas. Revolusi ilmiah dimulai ketika Copernicus
mematahkan pandangan geosentrik gereja yang telah diterima menjadi dogma
selama lebih dari seribu tahun. Setelah Copernicus, bumi tidak lagi menjadi
pusat alam tetapi hanya sebagian kecil di ujung galaksi. Tokoh lain yang
berperan mengubah corak berpikir manusia pada abad itu adalah Galileo
Galilei. Galileo adalah orang yang pertama memadukan percobaan ilmiah dengan
bahasa matematika untuk merumuskan hukum-hukum alam yang ditemukannya.
Selanjutnya Galileo menetapkan postulat bahwa agar para ilmuwan dapat
menggambarkan alam secara sistematis maka mereka harus membatasi diri untuk
mempelajari sifat-sifat esensial benda mateial yang dapat diukur dan
dikuantifikasi. Dengan postulat ini dapat dikatakanan bahwa semua aspek
seperti perasaan estetik, etik, nilai, perasaan, motif, kehendak, jiwa yang
tidak dapat dikuantifikasi menjadi "mati". Francis Bacon selanjutnya
merumuskan teori tentang prosedur penelitian ilmiah dimana penelitian harus
berlandaskan fakta maupun data serta berdasarkan percobaan untuk mengambil
kesimpulan yang tepat. Metoda ini disebut metoda empiris-induktif.
Dengan metoda ilmiah ini tujuan ilmu menjadi berubah. Ilmu pada jaman kuno
memiliki tujuan untuk mencapai kearifan, dengan memahami tatanan alam dan
kehidupan yang harmonis dengan alam; ilmu dicari "demi keagungan Tuhan".
Dengan prinsip metoda ilmiah dari Bacon, tujuan ilmu berubah menjadi
pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam.
Melalui metoda penelitian empiris alam secara paksa diteliti dan
dikendalikan.
Puncak revolusi ilmiah terjadi sejak Rene Descartes mengungkapkan
filsafatnya Cogito Ergo Sum (Saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini
merupakan kesimpulan dari filsafatnya. Menurutnya esensi hakikat manusia
terletak pada pikirannya, dan hanya benda-benda yang ditangkap dengan
jelaslah yang dapat dikatakan benar. Konsepsi yang demikian disebutnya
sebagai "intuisi". Dia menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju pengetahuan
yang benar kecuali dengan intuisi yang jelas dan deduksi lah yang diperlukan.
Dengan pendapatnya mengenai Cogito Ergo Sum, Descartes tidak lain menegaskan
bahwa akal dan materi merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara
mendasar. Dengan demikian ada dua alam yang terpisah yaitu alam pikiran res
cogitans dan res extensa atau alam luas. Pada abad-abad berikutnya, para
ilmuwan mengembangkan teori-teori mereka sesuai dengan pemisahan Descartes
ini. Ilmu-ilmu kemanusiaan memusatkan pada res cogitans dan ilmu-ilmu alam
memusatkan pada res extensa. Bagi Descartes, alam semesta adalah sebuah
mesin dan tidak lebih dari sebuah mesin. Alam semesta bekerja sesuai dengan
hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan
dalam tatanan dan gerakan-gerakan dari bagian-bagiannya. Gambaran alam
mekanik ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes.
Paradigma ilmu ini menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua
teori tentang alam. Seluruh teori pada abad tujuh belas, delapan belas dan
sembilan belas termasuk teori Fisika Newton yang termasyhur tidak lain
adalah perkembangan dari pemikiran Descartes.
Teori fisika klasik yang dikembangkan Isaac Newton pada dasarnya adalah
penggabungan dari metode deduksi dari Descartes dan metode induksi-analitis
dari francis Bacon. Newton dalam bukunya Principia menekankan bahwa
eksperimen tanpa interpretasi sistematis maupun deduksi dari prinsip pertama
yang tanpa bukti eksperimen sebenarnya sama-sama tidak akan sampai pada
teori yang dapat dipercaya. Pada abad delapan belas sampai sembilan belas
mekanika Newton telah digunakan dengan keberhasilan yang luar biasa. Teori
Newton mampu menjelaskan gerak planet bulan dan komet hingga ke
rincian-rincian terkecil.
Dengan penetapan yang kuat pada pandangan yang mekanistik ini, fisika Newton
tampak menjadi dasar dari semua ilmu. Teori Newton tentang alam semesta dan
kepercayaan pendekatan rasional pada masalah-masalah manusia menyebar dengan
cukup pesat sehingga era itu disebut dengan era pencerahan.
Konsep-konsep mekanistik Descartes serta konsep Newton ternyata juga
mempengaruhi para ilmuwan yang tertarik tentang masalah manusia. Dengan
metoda ilmiah suatu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi ilmu bila
memilki kriteria empirik, obsevable dan terukur. Usaha untuk memperoleh
pemahaman tentang manusia akhirnya harus direduksi hanya pada aspek-aspek
yang terukur saja. Ilmu Psikologi, sesuai dengan namanya, yang semestinya
mempelajari tentang Psyche (jiwa) direduksi menjadi ilmu yang terbatas
mempelajari tingkah laku dan pengalaman manusia. Ilmu Psikologi dapat
diterima menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri sejak Wilhelm Wund
mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig University, jerman pada
tahun 1859 dan mengembangkan penelitian-penelitian psikologi melalui metoda
eksperimental yang terukur dan teramati. Dengan masuknya psikologi sebagai
bagian dari ilmu modern jiwa yang non materiil, menjadi terbuang dari kajian
ilmu psikologi modern saat ini. Psikiater R.D Laing secara ekstrim
menyebutkan ; "Matilah pemandangan, suara, rasa, sentuhan dan bau dan
bersama itu mati pulalah perasaan estetik dan etik, nilai, kualitas, bentuk;
semua perasaan, motif, kehendak, jiwa, kesadaran, dan roh.
Sumber :
Capra, Fritjof., Titik Balik Peradaban, Penerbit Bentang :1997
K. Bertens, DR. Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit kanisius :1997
Mohammad Hatta. Alam Pikiran Yunani, Penerbit UI (UI Press) :1986 |