|
|
KAPAN PEREMPUAN BOLEH
MENAMAKAN DUNIA
Karlina Leksono-Supelli
Kakak perempuan tertua menamakan saya Karlina ketika saya dilahirkan. Di
luar kebiasaan, karena nama biasa diberikan oleh ayah, ibu, kakek, atau
nenek; tetapi waktu itu seluruh keluarga menerimanya. Karlina tidak
mempunyai arti apa-apa selain terdengar enak, begitu kata kakak saya. Maka
harus ada nama lain. Ayah menambahkan sebuah nama yang membawa simbol
eksistensi di luar saya. Nama yang diambil dari salah satu nama Tuhan:
Rohima, dari rahim; Islami dan membawa sifat penuh "belas kasihan" atau "penyayang."
Di dalam Surat Kenal Lahir, ditambahkan "binti Supelli", maka saya menjadi
Karlina Rohima anak perempuan Supelli. Namun selama dua belas tahun saya
cukup hanya Karlina.
Mula-mula karena keluarga memanggil demikian, namun kemudian saya memilih
demikian untuk ijazah Sekolah Dasar setelah mengetahui dari kakak perempuan
saya, pada usia 10 tahun, bahwa nama itu tidak mengandung apa-apa selain "terdengar
perempuan." Saya senang. Saya perempuan, tidak membawa apa-apa, bukan yang
lain.
Setelah itu, dunia barat modern menundukkan pilihan saya. Pada usia 12 tahun
ayah mengajak bepergian ke luar negeri. Di bagian keberangkatan bandara,
kami harus mengisi kartu imigrasi. Saya harus mengisi name dan surname;
surname terlebih dahulu, dengan mengggarisbawahinya. Saya bertanya kepada
ayah. Ia menjelaskan bahwa saya harus menuliskan Supelli untuk surname,
bukan Rohima. Sejak itu saya menjadi Karlina Rohima Supelli di dalam dokumen
resmi. Dan di luar negeri lebih sering dipanggil Ms. Supelli. Seringkali
saya menanggalkan Rohima. "Sudah ada Supelli," kata saya kepada ayah. Saya
menolak terbebani lebih banyak di dalam sebuah identitas yang sudah campur
baur, saya, Tuhan, ayah. Saya tidak selalu bisa menanggalkan nama ayah
karena bobot surname, atau nama keluarga tersebut. Sebuah kebiasaan yang
sebetulnya tidak begitu dikenal di Indonesia, namun menunjukkan bahwa kita
juga masuk sebagai salah satu simpul dalam jaring-jaring besar dunia (barat).
Dua belas tahun sesudah itu, sekali lagi saya mengangkut sebuah nama lain.
Saya menjadi Karlina Leksono. Kadang-kadang masih Karlina Supelli. Sekali
lagi, di Indonesia, tidak ada keharusan mengikutkan kedua nama itu, tetapi
dalam banyak peristiwa, saya harus mempunyai nama keluarga, sambil
seringkali juga harus menjelaskan bahwa Supelli bukan suami tetapi ayah.
Maka saya mengambil langkah praktis: Karlina Leksono-Supelli. Inilah saya di
seminar, di universitas, di luar negeri. Lalu, apa yang terjadi dengan
Karlina? Ternyata, hanya ketika menyatakan diri dalam kesempatan yang
menyentuh inti pribadi saya, ketika menulis dan bertutur dari dalam lubuk
jiwa, saya dengan bebas memakai Karlina. Seorang teman bertanya, mengapa
saya tidak kembali ke Karlina Rohima?
Saya menyampaikan alasan praktis, namun sesungguhnya, saya meresapi
pengalaman penamaan itu sebagai bagian dari sejarah dan asal usul saya. Nama
berbeda-beda itu membuat saya memahami perkembangan identitas yang
terbelah-belah namun yang akhirnya memperlihatkan sebuah koherensi: bukan
hanya saya tidak ikut menamai diri sendiri di dalam pertumbuhan dan
perkembangan saya, tetapi juga tidak menamai dunia di sekitar saya. Dunia
memilihkan nama untuk saya, dan ketika pulang ke rumah keluarga besar, saya
pun menjadi ibu-nya si A dan si A, dua orang anak saya, atau seringkali juga
ibu Leksono.
Dengan itu, saya masuk ke dalam sebuah dunia yang membius: "Wanita itu
kembang rumah tangga yang menyemarakkan suasana, membuat hidup penataan
rumah, makanan sampai aktivitas sehari-hari. Kehadiran wanita di dalam
sebuah keluarga akan mempercantik rumah itu sendiri, baik secara fisik
maupun suasana".
Atau yang membujuk: "Dalam pembagian peran, wanita memang kurang mendapat
porsi, tapi dalam soal pelayanan, wanita boleh merasa senang, bangga karena
mendapat perhatian lebih dan nomor satu, dalam jamuan makan malam,
pengalaman antri, mobil mogok, bila tidak hadir karena menstruasi perusahaan
akan memaklumi, ia mendapat kesempatan untuk mengambil cuti hamil, pria
jangan harap mendapat fasilitas sama, padahal juga repot ketika istri
melahirkan".
Nama pribadi adalah simbol pertama penggunaan bahasa untuk seorang anak yang
baru lahir; kelak ia pergunakan nama untuk mengenal, menemukan dan ikut
menamakan dunia dan menemukan kembali dirinya di dalam dunia. Dengan nama
seseorang mempunyai kemungkinan untuk berhubungan dengan dirinya sendiri
serta yang lain secara bermakna, dan untuk bertindak dengan sadar. Ketika
nama itu terpenggal sebagian, maka nama bukan lagi sesuatu yang menunjuk ke
identitas pribadi utuh.
Nama seorang perempuan sebagai sesosok pribadi dan nama "perempuan" sebagai
subyek untuk menyatakan "siapakah saya" merupakan hasil permainan dan
peleburan perbedaan, penghiburan, serta pembalikan hak-hak reproduksi. Yang
disebut terakhir ini satu-satunya hak yang mencirikan keperempuan Bolehlah
saya kini menamakan situasi perempuan yang saya paparkan di atas, baik lewat
contoh yang amat personal maupun amat umum itu, dengan kutipan yang saya
ambil dari potongan puisi Ann Lauterbach, when words turn against their
truth.
Untuk perempuan, bukan sebuah identitas bersifat esensialis yang menjadi
pergulatannya di dalam menamai diri dan ikut menamai dunia. Ia tidak mencari
identitas asing yang lepas dari jaring-jaring perjuangan kolektif menolak
kekuasaan dan opresi, tidak pula yang menyangkal peran pembentukan subyek
melalui bahasa dan kekuasaan menamai. Pergulatannya adalah di dalam upaya
menentukan diri, yang oleh Allison Weir didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mengalami diri sebagai peserta aktif dan (relatif) koheren di dalam
sebuah dunia sosial. Di dalam pengertian ini terkandung sebuah refleksi
mengenai, saya-lah yang berhadapan dengan pertanyaan, "siapakah saya dan
siapakah saya hendak menjadi." Saya adalah seseorang yang harus menanamkan
makna untuk eksistensi saya; makna ini saya peroleh melalui kesertaan saya
di dalam penciptaan makna bersama. Dalam konteks Indonesia, kesertaan aktif
ini sudah lama dileburkan ke dalam berbagai dokumen resmi negara yang
mendefinisikan makna warga negara perempuan. Dengan bahasa yang cukup
menawan, pemerintah Orde Baru menyampaikan ideologi tentang peranan
perempuan dalam pembangunan. Sekalipun mulai pupus perlahan-lahan sekarang
ini, perekatan identitas ke dalam berbagai bentuk pemuliaan semu berhasil
mengkonstruksi subyek perempuan dengan ciri utama kepatuhan.
Perempuan ibarat menerima amanat sakral ketika bertemu dengan konsep diri
sebagai ibu, yang merupakan "pembina keluarga dalam rangka mewujudkan
keluarga dan masyarakat yang mempunyai ketangguhan mental, budaya, dan
agama." Digabungkan dengan konsep perempuan sebagai "sumber daya manusia
dalam pembangunan," yang menggarisbawahi perannya di bidang ekonomi,
sekaligus perhatian negara atas "hak dan kewajiban (wanita) yang sama dengan
pria dalam pembangunan di segala bidang," namun "dengan memperhatikan kodrat
serta harkat dan martabat wanita," negara mempunyai sarana yang lengkap
untuk mengambil keuntungan dari perempuan. Pertama, pengikutsertaan
perempuan di bidang ekonomi selain merupakan pemenuhan kerangka pembangunan
yang mengejar pertumbuhan ekonomi, juga mendukung kepentingan
ekonomi-politik dalam hubungan dengan negara-negara donor yang mensyaratkan
pemenuhan hak warga negara (termasuk warga negara yang perempuan).
Ketidakjujuran negara adalah ketika pengikutsertakan itu tidak diikuti
dengan perubahan institusional mendasar khususnya dalam pembagian kerja
berdasarkan gender, ditambah kenyataan sudah terlebih dahulu perempuan
diposisikan sebagai penjaga rumah tangga di dalam konsep-konsep rencana
pembangunan yang mendampingi. Kedua, konsep ibu yang mengabdi memegang
fungsi politik untuk membentuk perempuan menjadi kelompok a-politis yang
memperkokoh pengendalian negara atas warganya.
Dengan mengambil peran sebagai pendefinisi perempuan, istri, serta ibu dan
menuangkannya ke dalam berbagai dokumen resmi, negara dengan sadar
menerapkan konsep patriarki di dalam kebijakannya mengenai perempuan. Namun
dengan bersembunyi di balik nilai-nilai gender yang sudah mengakar di dalam
masyarakat. Terjadi pemujaan terhadap peran ibu untuk kepentingan
pembangunan.
Ini tidak khas Indonesia.
Negara-negara yang terlibat perang dunia melakukan dengan sadar
ketidaktulusan memuja peran ibu dan perempuan, demi kepentingan negara.
Ketika tenaga kerja laki-laki di bidang industri tersedot ke angkatan perang,
berlangsung mobilisasi tenaga kerja perempuan selama PD (I dan II) di
industri senjata baik di Jerman maupun di Perancis. Kebutuhan akan tenaga
kerja ini dijadikan simbol keikutsertaan perempuan dalam perang; sebuah
simbol dari sikap perempuan mendukung negara ketika laki-laki berjuang di
garis depan pertempuran. Simbol ini dimunculkan dalam berbagai poster, iklan,
dan himbauan. Poster berbunyi, For Every Fighter a Woman Worker; back our
second line of defense, yang dikeluarkan oleh United War Work Campaign di
Amerika dalam PD I, bukan hanya memperlihatkan peran serta perempuan sebagai
pendamping laki-laki di garis belakang, tetapi juga menumbuhkan citra
kolektif mengenai perempuan-perempuan "terhormat" yang bekerja keras
mendukung peperangan. Sementara itu, untuk mengingatkan perempuan akan
potensi yang mereka miliki, beberapa poster membangkitkan semangat heroik
dengan meminjam figur terkenal, Joan of Arc Saved France. Women of Britain,
Save your Country. Buy War Savings Certificates… yang sesungguhnya hanya
demi menggalang dana untuk perang.
Penekanan peran suci ibu untuk kepentingan negara (dan dengan begitu
masyarakat juga harus mendukung) juga terlihat dalam sebuah poster PD II di
Amerika, yang menggambarkan seorang ibu menggendong bayi laki-laki dan
seorang anak perempuan berbunyi, I Gave a Man! Will you give at least 10% of
your pay in War Bonds? Di Jepang lain lagi. Semasa PD II pemerintah
mencanangkan kebijakan pro-natal untuk memperbesar jumlah kelahiran dalam
keluarga; maksudnya adalah untuk meningkatkan jumlah angkatan perang.
Pemerintah Jepang mengemukakan bahwa tugas mulia kaum ibu adalah menyerahkan
anak laki-laki kepada negara untuk membela bangsa. Muncullah sebuah
penafsiran atas peran perempuan di masa perang, yaitu ibu yang mengabdi
untuk negara, entah dengan menjadi pekerja di industri senjata dan atau
mengorbankan anak laki-laki untuk mempertahankan negara.
Ketika perang usai, ingatan akan perang hampir selalu berpusat di citra para
pejuang yang gugur dan para veteran yang cacad. Nama-nama pahlawan dicatat,
sebagian besar adalah laki-laki; nama-nama medan perang; ribuan buku ditulis
mengenai penyebab, tujuan, dan harga yang harus di bayar semasa perang.
Sedangkan sejarah para perempuan itu tinggal sebagai sejarah bisu, atau
muncul dalam skenario film sebagai janda yang kehilangan suami atau ibu yang
kehilangan anak. Suara sekelompok besar perempuan feminis yang pada tahun
1915 bergabung di dalam Women's Peace Party (WPP) untuk mengimbangi semangat
pro-perang yang merebak di Amerika, bukan hanya tidak berhasil mencegah
perang, tetapi pupus dari ingatan. Di tingkat internasional, komitmen
perempuan bersatu untuk menolak perang, yang tertuang dalam International
Women's Committee for Permanent Peace, juga tidak berhasil mencegah perang.
Bersamaan dengan itu mereka bukan hanya tidak dicantumkan di halaman besar
buku-buku sejarah tentang perang dunia, tetapi dileburkan ke dalam
pernyataan-pernyataan patriotik pemujaan ibu dalam konteks kepentingan
perang.
Kontrol penafsiran atas makna, kontrol atas pemilihan topik wicara, dan
pendiaman sebagaimana dipaparkan dalam banyak contoh di atas merupakan
mekanisme pembisuan di aras publik yang bukan semata-mata persoalan semantik,
sehingga harus dipahami lewat kacamata pragmatik. Melalui sudut pandang
pragmatik, ketiadaan tuturan muncul sebagai hasil proses pembungkaman, yang
ditata secara interaktif dan fungsional, sekaligus bermakna. Kesertaan salah
satu pihak di dalam wacana publik dihadang. Proses ini bisa berjalan karena
salah satu pihak mempunyai kekuasaan untuk mencegah pihak lainnya
berpartisipasi, yang pada gilirannya akan semakin menumbuhkan
ketidakseimbangan hubungan.
Dalam kontrol penafsiran, pemaknaan atas realitas diambil oleh pihak yang
lebih dominan. Perempuan bisa saja tetap dibiarkan mempunyai suara, bahkan
juga menerima jawaban, tetapi makna tuturannya ditafsirkan secara sepihak.
Kontrol atas pemaknaan meliputi antara lain hak menamai diri, hak untuk
memiliki akses ke perilaku sendiri, dan hak pilihan atas kata-kata. Kontrol
ini bersifat covert sehingga sangat sukar untuk dikenali namun efektif
secara psikologis maupun politis; kontrol ini mengakar kuat di dalam
kebudayaan dan berlangsung terus menerus serta berulang-ulang dalam waktu
lama. Lewat proses itulah perempuan akhirnya menerima distorsi makna sebagai
makna itu sendiri. Dunia ciptaan menjadi satu-satunya dunia yang diterima
sebagai benar. Pemutusan akses perempuan ke pemaknaan diri tampak jelas di
dalam penempatan KUHP, dengan menempatkan tindak perkosaan di bawah Bab
Kejahatan terhadap Kesusilaan (pasal 285 s/d 288). Penempatan ini berangkat
dari nilai-nilai yang diyakini masyarakat bahwa hubungan seksual di luar
perkawinan melanggar kesusilaan. Akibatnya, di satu pihak pendefinisian ini
sudah mereduksi sebuah bentuk kejahatan terhadap fisik perempuan--yang
menimbulkan rasa sakit, cedera fisik maupun psikologis, sehingga hanya
menjadi sekedar kejahatan terhadap rasa susila. Di pihak lain, pendefinisian
tersebut mengkonstruksikan sebuah realitas untuk perempuan korban perkosaan
mengenai ketidakbersusilaan, dan dengan begitu ketidakterhormatan, serta
keternodaan. Di dalam realitas baru ini perempuan tidak lagi mempunyai
bahasa untuk memaknakan serangan atas ketubuhan dan integritasnya sebagai
perempuan. Ia tenggelam di dalam bahasa moralitas yang bukan hanya
mengalihkan penderitaannya tetapi juga membesarkan keperkasaan dan kekuasaan
laki-laki yang memperkosanya. Perempuan adalah akibat sebuah wacana yang
bukan wacananya. Ada alasan untuk itu. Ada sebuah tahap di dalam masa amat
dini perkembangan manusia yang amat penting dalam hubungannya dengan bahasa.
Jacques Lacan menyebut sebagai Tahap Cermin. Tahap itu berlangsung ketika
anak berusia antara 6 sampai 18 bulan. Ia belum mampu memanfaatkan
ketrampilan motoriknya maupun bertutur, namun mulai dapat mengenali
bayangannya sendiri di cermin. Tindak mengenali diri di cermin tidak
berlangsung begitu saja. Anak melihat bayangannya di cermin dan melihat
bahwa itu adalah dia, tetapi secara serentak ia menandai bahwa bayangan itu
bukan dirinya sendiri. Diri-sebagai-diri-yang lain. Tahap inilah yang
merupakan tahap penciptaan hubungan-hubungan yang diatur secara sosial dan
terstruktur secara linguistik. Menjadi subyek, dalam pandangan Lacan, adalah
membiasakan diri dengan pengetahuan yang diperoleh sejak kecil: bahwa aku
terbelah antara aku dan aku-yang-lain.
Selanjutnya, jika bahasa dilihat sebagai sistem tanda, maka subyek menjadi
subyek penanda. Lacan melihat wilayah penanda ini sebagai Tatanan Simbolik,
yaitu tatanan tanda, signifikasi, representasi, dan semua bentuk citra.
Dalam tatanan inilah individu dibentuk menjadi subyek. Sementara hubungan
antara penanda (sesuatu yang dapat dipersepsikan) dan petanda (isi atau
makna) bersifat sewenang-wenang. Hubungan sewenang-wenang inilah yang
memungkinkan terjadinya rekayasa makna karena sebuah tanda bisa dimaknakan
apa saja sesuai keinginan si pembuat. Tatanan Simbolik Lacan masih
mengandung sifat patriarkal dan maskulin. Irigaray melihat bahwa tatanan
simbolik Lacqan berbicara tentang wilayah kehidupan sehari-hari (wilayah
Imajiner) yang merupakan hunian laki-laki, sehingga segala sesuatu di
luarnya harus diterjemahkan menurut aturan maskulin yang menatanya.
Perempuan sebagai yang lain akan disimbolkan dengan cara sama ketika
laki-laki menyimbolkan dirinya. Perempuan pun hanya menjadi simbolisasi
laki-laki. Ia tidak mempunyai sarana simboliknya sendiri untuk berbahasa.
Bagaimanapun, persoalan penting di dalam feminisme bukan hanya memformulasi
ulang dan mengkonstruki ulang konsep tentang diri, yang sudah direbut dari
perempuan ini, tetapi juga bertutur ulang di dalam bahasa bersama. Julia
Kristeva memperkenalkan subyek-dalam-proses, yaitu subyek yang berkembang
dan berubah melalui pengambilan posisi atau identitas di dalam sebuah dunia
sosial dan di dalam sebuah tatanan simbolik. Kemampuan untuk mengambil
posisi ini membutuhkan kemampuan mengidentifikasikan diri dengan sebuah "kita"
sosial di dalam sistem makna yang dialami bersama. Subyek dengan
pengembangan identitas, yang oleh Habermas disebut sebagai subyek dengan
kemampuan kritis. Namun untuk itu pula diperlukan sebuah proses percakapan
dengan semantik yang berbeda daripada yang berlaku sekarang. Sejak
Descartes, filsafat bahasa berayun di antara dua kutub bandul. Di satu kutub
ada linguistik teoritis dan logika yang mengacu ke rasionalisme Descartes.
Di kutub yang lain ada gagasan empirisme yang memandang bahasa sebagai
sebuah proses privat, sebuah kode untuk peristiwa internal yang
menghubungkan pengalaman dengan kata. Tak ada konteks, tak ada intensi.
Kedua pandangan ini tidak menampung daya-daya bahasa untuk menentukan makna
bersama, atau untuk mengekspresikan kebenaran, atau mendefinisikan dan
mengacu ke obyek-obyek kepentingan bersama, atau menginterpretasi ulang masa
lampau. Padahal peristiwa mengucapkan kembali, menuturkan kembali kata-kata
dengan makna berbeda, adalah proses yang memungkinkan orang untuk mengacu ke
realitas yang berubah terus menerus dan untuk memahami orang lain dengan
pengalaman berbeda. Proses linguistik untuk memilih dan menuturkan obyek
kepentingan bersama inilah yang akan menjadi kajian semantik di dalam kunci
baru feminis. Semantik baru memakai aturan yang berbeda. Intensi misalnya,
tidak dilihat sebagai elemen pengganggu yang harus disingkirkan agar bahasa
dapat mengacu dan menyampaikan kebenaran, melainkan dipelajari sebagai salah
satu gejala linguistik yang memungkinkan pengacuan bahasa ke berbagai sumber
selain peristiwa mental internal, seperti misalnya pengacuan ke realitas
interpersonal. Memaknakan ulang adalah problem mengambil kembali bagian
wacana yang sudah direbut dari perempuan dengan tujuan perempuan ikut di
dalam menamakan dan mendefinisikan kembali dunia. Dengan begitu ia bukan
lagi merupakan sosok hidup proyeksi pemikiran laki-laki, atau masyarakat
secara umum. Adakah cara untuk itu? Secara metodologis, konsep the personal
is political merupakan langkah metodologis untuk menjawab pertanyaan, apakah
identitas perempuan itu dan bagaimana kembali mengambil wacana? Di bawah
slogan feminis gelombang ke-2 pengalaman perempuan didefinisikan ulang ke
dalam bahasa politis, dengan menekankan hubungan antara kondisi material
obyektif lingkungan sosial dan pengalaman subyektif personal. Di belakang
slogan itu ada kesadaran bahwa pengalaman perempuan sebagai perempuan
berlangsung di wilayah yang secara tradisi didefinisikan sebagai wilayah
personal--emosional, khas, akrab--sehingga untuk mengetahui politik situasi
perempuan maka kita harus mengetahui kehidupan personal perempuan.
Mengatakan bahwa yang personal adalah politis, berarti bahwa gender sebagai
pembagian kekuasaan ditemukan dan dibuktikan melalui pengalaman akrab
perempuan atas obyektifikasi seksualnya. Untuk perempuan, hal yang personal
secara epistemologis adalah politis, dan epistemologinya adalah politiknya.
Pada aras ini, feminisme adalah teori mengenai pandangan perempuan, teori
perempuan biasa yang bicara dengan bahasa biasa. Langkah praktis pemahaman
dilakukan melalui proses penyadaran kelompok yang berlangsung lewat dialog
di dalam kelompok. Di sana perempuan melakukan rekonstitusi kritis mengenai
makna pengalaman kolektif sebagai perempuan, untuk kemudian mempertanyakan
kembali penamaan diri dan penamaan realitas selama ini, dan akhirnya
menamakan sendiri pengalamannya. Seperti kata Freire, nama bukan hanya
menunjuk kepada identitas, tetapi tindakan menamai itu sendiri adalah cara
manusia mengada secara manusiawi.
Perempuan bergerak dari yang tiada tampak kecuali sebagai obyek, menjadi
pemilik kesadaran baru yang ikut menciptakan realitas. Dengan cara ini ia
dapat mengajak lingkungannya untuk mulai belajar mengawali sebuah percakapan
baru dalam komunikasi yang jujur dan tulus, karena nama dan makna diciptakan
bersama. Belajar untuk bukan hanya menerapkan apa yang ada dalam tradisi
demi sekedar penambahan, tetapi belajar untuk melakukan--meminjam kata-kata
Hilary Putnam, sebuah lompatan konseptual memproyeksikan diri secara
imajinatif ke cara berpikir yang baru. Kita belajar untuk menempatkan ke
dalam bahasa sumber-sumber yang menghubungkan lingkaran makna dengan beragam
kehendak manusia. |