Waktu
Home
Kesaksian
Kisah
Waktu
Jejak Pemikiran
Wacana
Senja Kala
Cakrawala
Jalan kecil
Simulakra
Budaya Kota
Mata Hati
Jendala
Koleksi
Tamuku
GuestBook

 

 

Ilya F. Maharika

Saya yakin pembaca pernah melihat wajah kota-kota di Eropa atau Amerika, entah mengalaminya sendiri, lewat televisi ataupun foto di kalender dan kartu pos. Pun seperti yang saya alami, komentar yang biasa kita lontarkan adalah betapa indah dan cantiknya kota-kota ini. Jalan dan bangunan tertata rapi, pohon-pohon rindang menaungi para pejalan kaki dan orang-orang yang mengerumuni pengamen jalanan, segalanya elok dipandang mata. Kemudian kita akan membandingkan dengan kota-kota kita yang segalanya berantakan, sampah beterbangan, rumah dan bangunan berjejal saling tumpang tinding tidak keruan gang-gang yang rumit tidak terkirakan dan segala macam keburukan lainnya. Ujung-ujungnya kita mendambakan kota-kota kita bisa dirubah menjadi kota yang indah seperti yang kita lihat secuillewat televisi atau kartu pos itu dan menghujat para petinggi kota karena ketidakbecusannya menciptakan dambaan itu.
Adakah yang salah dengan dambaan seperti itu? Tidak jawabnya bila ini didambakan oleh masyarakat kebanyakan. Tetapi bisa jadi ya bila ini ada di mulut dan pikiran para pemikir kota. Siapakah mereka? Mereka adalah para arsitek, perencana, perancang kota, pejabat pembangunan daerah, investor, dan termasuk pula politisi yang intinya ada mereka yang berkuasa dan penentu kebijakan atas pembangunan kota. Mengapa demikian, hal ini karena mereka sedikit-banyak tercemari dengan apa yang saya sebut sebagai mitos keindahan kota.

Antara visualitas dan taktilitas
Keindahan tak lepas dari konsep umum yang kita biasa pahami sebagai indah bila dilihat oleh mata. Kata indah senantiasa dilekatkan dengan hal-hal yang terkait dengan objek yang dilihat oleh indera ini: lukisan indah, pemandangan indah, bunga yang indah dan lain-lain. Ken-Ichi Sasaki dalam artikelnya For Whom is City Design: Tactility versus Visuality (Ken-ichi Sasaki, City Life, 1997) membedakan dua konsep keindahan. Yang pertama adalah teori-teori yang datang dari Barat yang didasari oleh referensi visualitas, atau keindahan yang dilihat oleh mata. Diantaranya adalah teori townscape yang mana banyak diikuti oleh para perancang kota sebagai dasar teoritis untuk menciptakan estetika kota. Kata tersebut sejajar dengan kata landscape, (diindonesiakan menjadi lansekap, cloudscape, waterscape dan lain-lain yang kurang lebih berarti yang dapat dipandang dengan meluas. Morfem scape di Bahasa Inggris berhubungan dengan morfem -scope seperti microscope, telescope, cinema-scope, kaleidoscope dan lain-lain. Dari konstelasi kata-kata ini bisa dikatakan bahwa towscape dan landscape termasuk dalam kelompok kata-kata yang terkait dengan rupa (visual). Kata landscape mempunyai kesamaan asal dengan Bahasa Jerman Landschaft. Namun akhiran schaft dalam Bahasa Jerman sama dengan akhiran ship yang dalam Bahasa Inggris dimana keduanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan visualitas. Dari sini Sasaki memunculkan pengertian kedua tentang keindahan.
Sasaki mengusulkan adanya taktilitas (tactility) sebagai salah satu cara untuk mencapai estetika, sebagai pengertian yang kedua. Taktilitas adalah perasaan ternaungi dan terlindungi yang hanya dapat dirasakan oleh segenap raga dan indera (bukan hanya dengan mata). Dengan mendeskripsikan Tokyo ia mengungkapkan idenya. Tokyo adalah kota dengan gunung Fuji sebagai latar belakangnya. Ia mendapati bahwa dengan adanya gunung Fuji ini, penghuni kota merasakan adanya sesuatu yang menaungi. Fuji menjadi sosok yang kadang-kadang ada kadang-kadang hilang namun seakan-akan melindungi dan melingkungi di paras kontak antar manusia. Area dikenali dengan cara bagaimana Gunung Fuji terlihat. Contohnya Fujimi-cho (tempat di mana orang bisa melihat Gunung Fuji), Fujimi-dai (ketinggian dimana orang bisa melihat Gunung Fuji) ataupun Fujimi-zaka (lereng di mana orang bisa melihat Gunung Fuji). Para pejalan kaki dan pengendara sepeda adalah yang paling merasakan adanya taktilitas ini karena merekalah yang paling intens mengalami kemunculan dan menghilangnya Gunung Fuji dari pandangan.
Contoh lain yang sederhana adalah ketika kita memasuki restoran yang luas. Yang pertama dipilih biasanya adalah yang dekat jendela atau dinding. Baru setelah kursi di bagian ini penuh, orang akan menduduki kursi yang berada di tengah. Demikian pula ketika memasuki masjid atau ruang pertemuan, area dekat dinding atau tiang akan menjadi area yang penuh terlebih dahulu. Inilah yang dimaksud dengan taktilitas, adanya perasaan terlindungi, nyaman karena ada yang dapat dijadikan “sandaran� walaupun tidak harus bersandar dalam arti sebenarnya. Tradisi visual teori Barat boleh dikata dimulai dari definisi kota modern versi Rene Descartes dalam bukunya Discourse on Method (1637) yang kemudian disebut sebagai kota Cartesian. Kota Cartesian adalah kota abstrak, kota yang didisain untuk dilihat oleh mata Tuhan dan mata para perancang, mata para penentu kebijakan kota. Ini mengubah (kalau tidak malah mengikis) tradisi taktilitas di Barat yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Hal ini terbukti bila kita berkunjung ke kota-kota tua yang mempunyai gereja Gothic dengan julangan menaranya. Menara ini akan muncul dan hilang sepanjang perjalanan di kota-kota ini. Ia didisain bukan untuk dilihat secara keseluruhan dari kejauhan tetapi untuk dirasakan kehadirannya (seakan-akan Tuhan senantiasa menaungi) dan kemudian akan mengejutkan kita setelah kita berada di jarak yang sangat dekat dengannya. Katedral di Jerman, Katedral Notre-Dame di Paris, York Minster di York, Inggris adalah contoh dimana taktilitas juga terpraktekkan (sayangnya pembangunan jalan-jalan baru kadang justru merusak kejutan spiritualitas ini). Contoh ini menunjukkan bahwa penglihatan (visual aesthetics) bukanlah satu-satunya cara untuk menjadikan kota indah. Namun sayangnya yang diajarkan di sekolah-sekolah arsitektur, yang teorinya gencar diperdebatkan, yang oleh para perancang dan perencana selalu didambakan, yang oleh para pejabat dan politisi selalu dijadikan tujuan adalah keindahan visual ini. Inilah yang saya maksud sebagai mitos keindahan kota.

Antara Mitos dan Kenyataan
Sayangnya mitos bisa jadi berbahaya bila dibiarkan menguasai pemikiran. Ia tanpa sadar akan mengarahkan segala praktek perancangan para pemikiran dan penguasa kota ke arah tersebut dan menganggap konsep visualitas sebagai satu-satunya kebenaran. Mereka mengklaim kebenaran ini untuk mengalahkan argumen pihak lain (masyarakat) yang memang tanpa teori untuk mempertahankan diri. Klaim ini akan berbenturan dengan kenyataan bahwa masyarakatlah yang mengalami kota dan bukan hanya sekedar melihat kota karena apa yang dirasakan oleh tubuh individu warga kota adalah taktilitas. Kesenjangan antara keduanya bisa jadi menimbulkan lingkaran setan problem perkotaan. Berbeda dengan kota-kota Barat yang cantik dari luar, Tokyo dan kota-kota Asia dan tentu saja Indonesia boleh dikata lemah di aspek visualitas. Bangun-bangunan seakan mengesampingkan keserasian dan kesatuan dengan sekelilingnya. Mereka berkompetisi dengan variasi dan keseronokan seakan menampilkan energinya masing-masing. Di Indonesia, seperti di Jakarta, Surabaya, Medan dan kota besar lainnya, kampung-kampung kota, pertokoan sepanjang jalan (shopping streets), dan tenda para penjuan sate dan bakmi pinggir jalan, sering dijadikan kambing hitam ketidakindahan kota. Usaha untuk mengatur kualitas visual lantas dilakukan. Diantaranya yang paling banyak dilakukan adalah dengan membangun pusat pertokoan, pusat jajan serba ada pujasera dan segala bentuk pemusatan. Satu dua pedagang jalanan yang mampu menyewa akan memanfaatkannya namun yang tidak mampu akan tetap berada di jalanan. Terkadang pedagang jalanan tak mau meninggalkan tempat jualannya lantaran tempat itu hoki. Mereka kenal betul tempat-tempat yang hoki dan mana yang buntung sehingga walaupun senantiasa kena razia, mereka akan kembali dan kembali lagi untuk mendapatkan hokinya.
Kasus lainnya adalah berubahnya kampung-kampung menjadi rumah susun. Masyarakat yang telah mengalami taktilitas kampung kota lantas menjadi gamang justru ketika keindahan rupa dia alami. Lantaran gagap dengan keindahan ini lantas mereka, para penghuni, justru menyewakan rumahnya untuk para mahasiswa atau para pendatang lainnya. Akhirnya mereka justru mencari tempat lain dimana rasa kampung kota dapat mereka alami. Problem yang sama lantas muncul kembali, namun di tempat yang lain....
Di dua contoh tersebut taktilitaslah yang berperan dalam menciptakan lingkaran problem tersebut. Taktilitas bagi para pedagang jalanan adalah perkara hoki sedang bagi para penghuni kampung adalah perjuangan hidup, atau singkatnya adalah persoalan nasib mereka. Problem muncul lantaran keindahan kota hanya dipahami semata sebagai keindahan visual (oleh para penentu kebijakan kota) padahal di sisi lain masyarakat mengalami keindahan taktilitas. Para penentu kebijakan melihat persoalan nasib masyarakat kecil sebagai masalah bagi keindahan kota versi mereka. Sebuah situasi yang sungguh tidak berimbang.
Kini saatnyalah pendidikan arsitektur dan perencanaan serta para aktor yang terkait dengannya serta para penentu kebijakan kota harus membuka diri pada kenyataan bahwa kota sebenarnya hanya bisa dimengerti melalui pengalaman, dengan berjalan menelusurinya dan bukan dengan abstraksi melalui buku dan peta-peta.
Biografi Penulis:
Ilya F. Maharika, lahir di Temanggung tahun 1968. Sekarang adalah Staf Pengajar Jurusan Arsitektur-Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta. Aktif di Yayasan Warisan Budaya Yogyakarta dan menjadi sekretaris periode 1998-2000. Lulus sarjana dari Universitas Gadjah Mada tahun 1993, mendapat gelar Master of Arts (Architecture) dari Institute of Advanced Architectural Studies, University of York, Inggris tahun 1998 dan sekarang sedang menempuh studi doktoral di Universitas Gh. Kassel, Jerman dengan spesialisasi teori arsitektur.
Alamat Indonesia: Jalan Kaliurang Pandega Bakti 13 Yogyakarta 55281.
Alamat Jerman : Hansenhuserweg 11 whg. No. 12 Marburg 35039 Jerman. 

Home | Kesaksian | Kisah | Waktu | Jejak Pemikiran | Wacana | Senja Kala | Cakrawala | Jalan kecil | Simulakra | Budaya Kota | Mata Hati | Jendala | Koleksi | Tamuku | GuestBook

This site was last updated 07/05/03