Simulakra
Home
Kesaksian
Kisah
Waktu
Jejak Pemikiran
Wacana
Senja Kala
Cakrawala
Jalan kecil
Simulakra
Budaya Kota
Mata Hati
Jendala
Koleksi
Tamuku
GuestBook

 

Simulakra

Kajian budaya atau cultural studies pertama kali muncul di Birmingham, Inggris. Salah satu perintis-nya adalah Raymond Williams. Pada perkembangan selanjutnya, kajian budaya menyebar ke Eropa. Perkembangan kajian budaya ini menjadi sangat berarti ketika kajian budaya "klasik" bertemu secara intensif dengan pemikiran postmodern. Pemikiran postmodern yang dimaksud adalah postmodernis-me sebagaimana muncul dari tradisi pemikiran kontemporer Prancis seperti Lyotard, Foucault, Derrida, Roland Barthes, dan Jean Baudrillard.

Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini. Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya televisi ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Artinya, kebudayaan yang tidak mempunyai dasar. Televisi hanya menyajikan aliran gambar yang tidak lagi mempunyai aslinya atau singkatnya Simulacra. Realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hiperrealitas).

Menurut Baudrillard, sebagaimana yang ditulis St. Sunardi (2001), kunci kreativitas terletak pada kemampuan orang untuk melakukan imajinasi, karena sudah tidak ada lagi yang diimajinasikan. Gambar-gambar yang dihasilkan lewat media telah menjadi murderers of the real. Gambar dalam budaya media telah kehilangan daya representasi. Ini berarti para konsumen budaya media massa tidak lagi berkreasi karena kehilangan dialectical capacity of representation. Baudrillard menggambarkan realitas ini melalui empat tahap: "(1) it (image) is the reflection of the basic reality, (2) it masks and pervert a basic reality, (3) it masks the absence of the a basic reality, dan (4) it bears no relation on any reality whatever: it is its own pure simalacrum.
Dari keempat tahap itu, tahap kedua adalah yang paling penting (maka Baudrillard memberi aksen): gambar bahkan mengelabui kita sehingga kita tidak sadar lagi akan ketidakhadirannya. Gam-bar dalam media massa seperti televisi tidak lagi kita pahami dalam kerangka semiotis signifier dan signified. Jarak keduanya lenyap, sehingga yang tinggal hanyalah sebuah pengalaman langsung. Artinya, kita seolah-olah tidak sedang menghadapi image atau gambar tentang melainkan "realitas" itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard dengan istilah the immediate, the unsignified atau simulacrum atau (jamak) simulacra, yang secara terminologis berarti tiruan, imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya.

* Buku Galaksi Simulacra ini berisi esai-esai mutakhir Baudrillard dalam kancah pemikiran post-modern yang di dalamnya mengulas berbagai hal mengenai masalah milenium ketiga ini di antaranya: Disney World, Utang Global, Patafisika, Bedah Plastik, Tulisan Cahaya, dan sebagainya, dengan pembuka tulisan berjudul Selamat Datang di Dunia Jean Baudrillard yang seolah-olah mengajak pembaca memasuki dunia baru, yaitu dunia simulacrum. Isi buku ini tidak dapat dipilah-pilah secara sistematis karena ditulis secara tersendiri. Sulit menemukan kesinam-bungan antara esai satu dengan yang lain. Tulisannya memang sangat filosofis, tidak umum, dalam arti lurus dan gam pang dicerna. Konstruksi tulisannya tidak stabil, kadang terasa meloncat-loncat, meronta, memang cermin dari keadaan milenium.

* Memasuki milenium ketiga, banyak kalangan merasa sangat bahagia, pesta penyambutan dilaksa-nakan di hampir setiap negara dengan pesta-pesta, seolah-olah milenium ini akan membawa banyak perubahan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Hidup manusia seakan-akan lebih mudah karena peradaban tinggi (high civilization) melahirkan teknologi tinggi (high tech), komunikasi global (global communication), digitalisasi, cloning, rekayasa genetika, dan teknologi informatika. Secara perlahan tetapi pasti, para manusia milenium itu terlena dengan segala kemudahan hidup, buday a konsumsi yang serba instan membuat mereka lupa bahwa hidup yang mereka hadapi mulai kabur dan tenggelam dalam realitas semu.

Dalam konteks budaya politik Indonesia hiperrealitas ini tampak dengan adanya budaya korupsi dan saling konflik antar-elite politik, carut marut pendidikan, layanan publik yang buruk, kekerasan aparat, pemogokan buruh, penyimpang-an kekuasaan, kolusi dan nepotisme. Dalam keseharian masyarakat perang isu dan simulacrum dalam tayangan media dianggap sebagai kebenaran.
Hiperrealitas berhasil mengaburkan dunia kenyataan dan dunia semu, masyarakat dunia mo-dern tidak bisa membedakan lagi antara kebenaran nyata dan kebenaran semu. Sebagai contoh adalah kasus rebutan tongkat komando Polri antara mantan Kapolri Bimantoro dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, signifier mengatakan tongkat komando adalah tongkat belaka, aksesoris dalam jabatan Kapolri, tetapi signified justru mengatakan lain, tongkat komando adalah lambang kekuasaan, siapa saja yang memegang tongkat komando berkuasa atas institusi Polri.
Masyarakat kini sedang menanti kebenaran ide Baudrillard itu, bisakah manusia menghindarkan diri dari kepalsuan dan mencari makna sejati dari semua realitas yang dihadapi? Jawabannya adalah kembali kepada diri kita masing-masing dalam memaknai realitas hidup ini. Selamat datang di dunia simulacrum.

Home | Kesaksian | Kisah | Waktu | Jejak Pemikiran | Wacana | Senja Kala | Cakrawala | Jalan kecil | Simulakra | Budaya Kota | Mata Hati | Jendala | Koleksi | Tamuku | GuestBook

This site was last updated 07/05/03