Budaya Kota
Home
Kesaksian
Kisah
Waktu
Jejak Pemikiran
Wacana
Senja Kala
Cakrawala
Jalan kecil
Simulakra
Budaya Kota
Mata Hati
Jendala
Koleksi
Tamuku
GuestBook

 

Reduksi Konsepsi Manusia

Perubahan konsep manusia dari satu era ke era berikutnya dalam lintasan sejarah kehidupan manusia telah membentuk kebudayaan dan peradaban dengan berbagai cirinya tersendiri. Secara umum, akan tampak dengan jelas munculnya gejala reduksionistik pada pengetahuan tentang "manusia" dari masa ke masa sejalan dengan peningkatan kompleksitas elemen-elemen budaya. Gejala reduksionistik tersebut secara umum tampak dari diskursus tentang entitas-entitas yang menyusun kedirian manusia yang menjadi ciri khas dari pemikiran para filsuf Era Pramodern menjadi aktifitas dan kualitas yang mengaburkan kehadiran entitas kedirian seperti kesadaran, ketidaksadaran, intensionalitas dan bahasa pada Era Modern hingga akhirnya menyusut dalam bentuk absurditas pengungkapan hasrat, keinginan dan libido manusia di tengah kebudayaan global pada Era Posmodern.



1. Tinjauan Umum Konsep Manusia

Diawali dari Era Pramodern yang dapat diamati melalui pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles, secara umum diperlihatkan adanya gagasan dasar bahwa manusia itu terbagi atas tiga entitas yaitu corpus, animus, dan spiritus. Pengetahuan tentang kedirian manusia menempati kedudukan sentral sehingga dengan metodanya yang amat terkenal, Socrates dapat membongkar ketidaktahuan warga Athena atas keputusan-keputusan yang mereka ambil selama tak dilandasi oleh pengetahuan tentang diri yang benar. Dari khasanah kehidupan Socrates didapati kenyataaan bahwa pengetahuan tentang diri yang hakiki bagaikan pedang yang bermata dua: ia dapat menuntun pada kebajikan sejati bagi yang ingin menempuh perjalanan untuk mencapainya akan tetapi juga dapat menimbulkan reaksi kemarahan dan kebencian yang demikian besar hingga mengantarkan Socrates pada kematiannya sendiri.

Reaksi ekstrim dari khalayak penerima sebuah pengetahuan sesungguhnya menunjukkan kualitas dari pengetahuan itu sendiri. Jika kita merujuk pada kisah nabi-nabi yang membawa ajaran kepada umatnya pada suatu masa, tipikal pengetahuan jenis inilah yang diterima umatnya hingga mereka terbelah menjadi dua kategori yang umum terdapat pada semua tradisi agama-agama yaitu golongan beriman dan golongan kafir.

Baik Socrates, Plato maupun Aristoteles mengidentifikasi dengan cermat tak hanya entitas-entitas yang menyusun kedirian tetapi juga karakter-karakter dari tiap entitas, pola interaksi di antara entitas dan metodologi pencapaiannya. Kesulitan terbesar untuk menelusurinya kembali justru terletak pada keterbatasan bahasa untuk mengilustrasikan konsep-konsep yang abstrak dan imaterial. Kekuatan suatu bahasa untuk menjelaskan konsep yang abstrak ini sebenarnya terletak pada kemampuannya mengkorespondensikan elemen-elemen kebudayaan dan peradaban dari wilayah pemakai bahasa dengan entitas-entitas kedirian manusia. Padahal entitas-entitas imaterial di dalam “alam diri” manusia dapat dikorespondensikan dengan entitas-entitas material dari alam di luar diri manusia hanya oleh orang-orang yang telah dapat mengidentifikasi keduanya di dalam dirinya dan di luar dirinya.

Memindahkan pengetahuan tentang kedirian manusia akibatnya bukanlah sekedar pemadanan istilah-istilah dari suatu bahasa ke bahasa lain. Jika hal ini yang dipilih, seperti yang terbaca dari penerjemahan teks-teks berbahasa Yunani ke bahasa Inggris, maka radikalitas dari pengetahuan ini besar kemungkinannya akan tertundukkan oleh kedangkalan epistemologi sang penerjemah. Kesulitan ini semakin bertambah ketika tahap-tahap pencapaian diri yang ideal kehilangan analoginya pada kebudayaan massal yang cenderung dekaden.

Sekalipun demikian, usaha mengidentifikasi pengetahuan tentang kedirian manusia ini tidaklah menemui jalan buntu. Kesejajaran konsep pengetahuan ini dalam pandangan Socrates, Plato dan Aristoteles akan memperlihatkan benang merah yang jelas dengan tidak hanya ketiganya, bahkan dengan prinsip-prinsip teologis dari agama-agama besar.

Memasuki Era Modern, warisan pengetahuan tentang kedirian manusia dari para filsuf Yunani dengan segera dihakimi sebagai paham idealisme, berbau metafisis dan irrasionalitas dari periode mitis dan hujatan lain yang secara implisit sebenarnya memperlihatkan kegagalan filsuf modern untuk menyelami kedalaman pengetahuan tentang kedirian manusia dari era sebelumnya. Maka dalam pembahasan berikutnya akan terekam perdebatan filosofis pada era ini akan diwarnai oleh apakah kesadaran atau ketidaksadaran yang menjadi basis penyelidikan pengetahuan tentang kedirian manusia.

Usaha-usaha identifikasi kedirian manusia semakin jauh dari harapan manakala paham Cartesian dan psikoanalisa yang menjadi representasi era ini mengelak untuk berbicara entitas-entitas yang sekalipun bersifat imateri tetapi mandiri dan mereduksinya menjadi serangkaian aktifitas-aktifitas manusia yang saling bertentangan, seperti antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara “aku adalah tubuhku” dan “aku mempunyai tubuhku” atau antara “aku berpikir”, “aku berpikir akan sesuatu” dan “aku mampu”.

Kegamangan para filsuf Era Modern untuk mengidentifikasi entitas-entitas kedirian ini ditutupi dengan argumen-argumen yang rumit (sophisticated). Tanpa harus meneliti argumen-argumen tersebut satu-persatu, akan segera mengemuka sebuah pertanyaan, “apakah dengan dimengertinya konsep tentang kedirian manusia yang mereka ajukan akan dapat mengantarkan seseorang pada kebahagiaan hakiki dan kebajikan sejatinya?” Pertanyaan ini mungkin bersifat terbuka dan subyektif, tapi jika karena ketidakmengertian sebuah konsep seseorang belum memperoleh pencapaian apapun, konsep tersebut tentu masih memiliki peluang menjelaskan kebenaran yang lebih tinggi daripada konsep lain, yang telah dimengerti dengan baik tapi tak menghasilkan pencapaian apapun. Subyektifitas pencapaian tujuan jelas berada diluar lingkup penulisan artikel ini.

Kebudayaan global yang berorientasi pada pemuasan hasrat manusia akan materi semakin memburamkan kejernihan usaha-usaha pencarian pengetahuan tentang kedirian manusia di Era Posmodern. Aneka ragam gagasan ideal tentang aktifitas kebaikan dan aktifitas kejahatan dalam diri manusia dari Era Modern yang masih jernih dari intervensi elemen-elemen peradaban hasil ciptaan manusia tak tampak lagi di tangan filsuf Era Posmodern. Mereka benar-benar disibukkan oleh elemen-elemen kebudayaan dan peradaban yang meraksasa seperti wacana tentang kekuasaan dan totalitarianisme, kapitalisme global, konsumerisme dan ekonomi libido yang seolah tak meninggalkan ruang bernapas bagi kontemplasi diri. Yang tersisa dari eksplorasi pengetahuan tentang kedirian manusia hanyalah penelusuran tentang kecenderungan apa dalam diri manusia yang mendorongnya untuk terus menerus menciptakan elemen-elemen kebudayaan dan peradaban tanpa henti.

Berbagai paradoks muncul ketika elemen-elemen kebudayaan dan peradaban baru yang dilahirkan dimaknai secara liar, makna-makna tersebut terus menerus didekonstruksi sehingga yang bertahan tinggal onggokan materialitas. Hakikat kedirian manusia diilustrasikan oleh para filsuf era ini melulu terdiri dari keinginan (want), hasrat (desire), gairah (passion) dan hawa nafsu (libido) yang senantiasa melahirkan "anak-anak haramnya". Gagasan ideal tentang kedirian manusia yang masih diperdebatkan pada Era Modern sebagai varian-varian dari peperangan antara aktifitas baik dan aktifitas jahat dalam diri manusia semakin sulit ditemukan jejaknya pada era ini.

Meski demikian, gagasan para filsuf pada era ini menyajikan penegasan penting atas dua hal: yang pertama tentang tak bermaknanya penciptaan kebudayaan dan peradaban tanpa pencapaian sempurna tentang pengetahuan diri manusia dan yang kedua tentang peringatan keras kepada siapapun yang hendak bersentuhan dengan kebudayaan massa (mass culture) karena di dalamnya terdapat perangkap kesadaran yang semakin menjauhkan manusia dari tujuan idealnya.


2. Konsep Manusia sebagai Fondasi Kebudayaan

Sebenarnya kata kebudayaan lebih tepat berasal dari dua kata yaitu buddha dan daya. Bodhi artinya adalah kekosongan, budhi artinya adalah akal dalam atau lubb atau Intelek, sementara budha artinya adalah pencerahan. Maka dari itu melihat bentuk kebudayaan itu sendiri—pada mulanya—lebih tepat untuk melihatnya sebagai bentukan dari kata budha dan daya yang artinya adalah daya pencerahan. Di dunia Barat, di lain pihak, kata culture memiliki akar kata dari bahasa Latin yaitu cultura dan cultus yang pada awalnya digunakan sebagai kata sifat serta memiliki makna pemeliharaan dengan berbagai konotasi seperti “pelatihan” dan “pemujaan”; istilah culture ini sendiri sebenarnya berasal dari kata Latin colere. Contohnya dalam kata agri cultura yang berarti pertanian atau pengolahan tanah supaya subur, sedang di Eropa pada zaman pertengahan sembahyang disebut sebagai agricultura Dei.

Dari situ makna kata cultura berkembang dengan pemakaian yang berbeda-beda. Cicero, misalnya, menggunakan ungkapan cultura animi atau pengolahan jiwa untuk menggambarkan filsafat, akan tetapi lama kelaman maknanya pun meluas menjadi kesusatraan dan kegiatan intelektual pada umumnya; sedang dalam wilayah agama kata tersebut merupakan padanan dari mistisisme (tashawwuf) atau ilmu yang mempelajari sisi esoteris dari agama. Karena itu semua yang berkaitan dengan kata cultivatio menjadi bermakna pengendalian, penataan, penghalusan dan peluhuran segala yang alamiah.

Pada akhirnya kata sifat cultura dan cultus berubah menjadi kata benda “culture”. Di Perancis pada abad ke XIII istilah culture telah digunakan dalam pengertian formation de l’esprit atau bangunan ruhaniah seperti pada la culture des lettres (sastra) dan la culture des sciences (pengetahuan). Sehingga dari pengertian itu pula dikatakan bahwa manusia yang utama adalah manusia yang memiliki kultur. Perubahan fungsional kata culture dari kata sifat menjadi kata benda melalui kata kerja ini menyebabkan konotasi proses yang imaterial digantikan dengan konotasi produk yang material. Puncaknya, culture menjadi sinonim dengan humanitas atau kemanusiawian yang akan membedakan manusia dari hewan yang banyak dianut oleh para antropolog.

Kebudhaan adalah pencapaian tingkat tertinggi kedirian manusia yang sepadan dengan eudaimonia dalam konsepsi Plato dan Aristoteles sehingga budaya bermakna daya usaha yang dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat pengetahuan diri tertinggi atau daya usaha yang membimbing manusia untuk mencapai tingkat pengetahuan diri yang tertinggi.

Definisi ini ternyata sejalan dengan konsep politik dalam risalah Aritoteles berjudul Politeia, yang diterjemahkan sebagai Politics. Politik menurut Aristoteles adalah nama sebuah pengetahuan praktis; bagian dari etika yang menata aktivitas kelompok dari warganya. Manusia diibaratkan sebagai binatang-binatang dari sebuah polis (negara kota) dan kecenderungan alamiahnya adalah membentuk kelompok-kelompok, bertindak dalam kelompok, dan bertindak sebagai sebuah kelompok. Tujuan atau sasaran akhir politik adalah untuk mencapai eudaimonia, kesejahteraan atau kebahagiaan vital dari individu.

Gagasan spesialisasi bidang pekerjaan bagi warga yang hidup di dalam polis yang ditulis oleh Plato dalam bukunya The Republic sepintas dianggap lahir dari pertimbangan ekonomis belaka. Tetapi penegasannya bahwa hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang, yaitu para hylakes (dalam bahasa Yunani yang berarti penjaga-penjaga), yang dipilih hanya berdasarkan "bakat" semata tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan, menunjukkan eksistensi kemisian yang unik, dikenal sebagai aretè (akan dijelaskan pada subbab berikutnya), yang hanya dapat diketahui secara utuh bersamaan dengan pencapaian eudaimonia.

Keunikan misi hidup ini diilustrasikan dengan indah oleh Plato dalam definisinya tentang keahlian seorang negarawan dengan seorang tukang tenun. Menurut Plato, tugas seorang negarawan sebagaimana halnya tukang yang menenun benang wol menjadi sehelai kain, adalah bertugas menenun, atau menciptakan keselarasan yang harmonis, di antara semua keahlian lain di dalam negara. Secara implisit Plato hendak menunjukkan bahwa dimanapun jalur kemisian hidup seseorang dijalankan, pada hakekatnya tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain.

Dengan demikian dapat diajukan hipotesis bahwa sistem tata nilai yang mengatur hubungan antar manusia yang kelahirannya tidak dibidani oleh pengetahuan diri yang tertinggi akan berbalik menghambat usaha manusia untuk mengenali dirinya sendiri karena perjalanan pengenalan diri mesti ditempuh dengan mengidentifikasi sebanyak mungkin semua elemen kebudayaan yang membantu memulihkan ingatannya tentang alam Idea. Hipotesis ini agaknya teruji manakala kita menyimak kembali konsep-konsep pengetahuan tentang kedirian manusia pada Era Modern dan Posmodern. Dalam kedua era itu terlihat betapa semakin jauh terpisahnya antara ide-ide penciptaan kebudayaan dan peradaban dengan penemuan tentang hakekat kedirian manusia. Hari ini, setiap usaha menalar kembali pengetahuan tentang diri manusia, perjalanan manusia selalu dihadang keras oleh rintangan global yaitu kebudayaan massa.

3. Konsep Manusia pada Era Pramodern

Secara umum dalam pemikiran-pemikiran pramodern konsep tentang penemuan atau pengenalan diri sendiri tersebut senantiasa ada, bahkan dalam setiap agama-agama yang berkembang pada waktu itu. Dalam agama Islam, misalnya, ada juga sebuah hadits yang mengajarkan ihwal pengenalan diri yaitu “Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” yang artinya “Barang siapa mengenal jiwanya (nafs) maka sungguh dia mengenal Tuhannya (Rabb),” begitu juga dalam agama-agama lainnya.

I. Trinitas Tubuh-Jiwa-Ruh pada Konsep Manusia di Era Pramodern

Di Yunani terdapat sebuah kuil di Delphi yang sangat terkenal yang di dalamnya tinggal seorang pendeta wanita bernama Pythia. Pythia duduk di sebuah bangku tinggi di atas rekahan tanah, dalam keadaan fana, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pengunjung kepada dirinya. Jawaban-jawaban yang diberikannya sangat kabur atau mengandung makna ganda sehingga para pendeta yang berada di sekeliling Pythia harus membantu menerjemahkannya. Ada pun di atas pintu masuk ke kuil di Delphi tersebut terpampang tulisan terkenal: “Gnothi Se Authon” (Kenalilah Dirimu Sendiri). Tulisan ini pulalah yang menjadi basis dari filsafat Socrates mengenai analisis-diri dan realisasi-diri untuk sampai pada pengetahuan dan tingkah laku yang baik.

Socrates (469-399 SM) memiliki nama panggilan “Lalat” karena dia suka menyengat orang untuk berpikir jernih tentang mereka sendiri. Akhir hidupnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada pengadilan oleh hakim Athena atas dasar dua tuduhan utama yaitu kekafiran dan merusak para pemuda Athena. Padahal dia bukanlah seorang yang dogmatis, apalagi otoriter akan tetapi kehadirannya di tengah-tengah warga Athena benar-benar membuat mereka gelisah karena ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar asumsi-asumsi kemapanan tujuan hidup manusia dan membuat mereka dilanda kebingungan atas kenaifan pengetahuan mereka.

Socrates pun mengatakan bahwa dia mengemban satu misi besar yaitu membantu manusia untuk menemukan pengetahuan khusus dan bahwa karakteristik ilmunya adalah seperti ilmu bidan—ibunya sendiri adalah seorang bidan. Dia tidak melahirkan sang anak itu sendiri, akan tetapi kehadirannya adalah untuk membantu kelahiran pengetahuan yang sejati yang didapat dengan pengenalan diri manusia sendiri.

Sebuah efek samping dari misi hidup Socrates tersebut adalah hidupnya yang sangat keras. Menurut Socrates kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani; gagasan seperti ini tentu saja cukup mengganggu terutama bagi mereka-mereka yang lebih suka mencari uang dan terbenam dalam kehidupan rutinnya. Ditekankan pula olehnya bahwa orang yang bijak adalah orang yang tahu kalau dia tidak tahu apa-apa.

Socrates memiliki kepercayaan tentang suatu konsep moral bahwa manusia itu seperti layaknya benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi tertentu, yang berarti bahwa manusia pun telah diciptakan untuk suatu tujuan dan fungsi tertentu dan adalah tugas manusia pula untuk menemukannya dan melaksanakannya dengan tepat. Pandangan ini disebut juga sebagai pandangan teleologis, yang berasal dari bahasa Yunani, telos, akhir, tujuan, keadaan utuh, dan logos, kajian tentang, prinsip rasional dari; yaitu kajian tentang fenomena yang menampakkan keteraturan, desain, tujuan, cita-cita, sasaran, dan bagaimana semua ini dicapai dalam sebuah proses perkembangan.

Manusia itu, menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan oleh dirinya sendiri dan bahwa kebahagiaan yang nyata terdapat dalam keberhasilan meraih kesempurnaan akan diri yang nyata tersebut atau jiwanya dan juga bahwa moralitas itu bukan sekadar mematuhi hukum, melainkan sesuatu yang lebih spiritual. Begitu manusia mengetahui siapa dirinya, dia akan akan mengetahui bagaimana sebaiknya bersikap, oleh karena itu Socrates pun mengimbau kaum muda untuk berpikir agar mereka pada akhirnya dapat mengenal diri mereka sendiri.

Walaupun pengetahuan moral dapat diraih melalui debat dan diskusi, akan tetapi sebagaimana ditekankan oleh Socrates bahwa moralitas bukan suatu pengetahuan yang benar-benar dapat dipelajari. Pengetahuan yang nyata adalah mengenai esensi, seperti “tingkah laku yang benar” atau “keadilan”, harus ditemukan sendiri. Begitu pengetahuan ini diperoleh, maka mata hati dapat melihat semuanya. Lalu manusia akan selalu tahu apa yang benar, dan sebagai akibatnya manusia tidak akan pernah keliru dalam menetapkan tindakan-tindakannya. Inilah yang dimaksud Socrates dengan kalimat-kalimat seperti “Kebajikan adalah pengetahuan” dan “Tidak ada kesalahan yang dibuat secara sadar”. Dengan demikian Socrates telah memperlakukan moralitas sebagai suatu jalan bagi penemuan diri sendiri.

Konsep dasar mengenai manusia ini juga terdapat dalam pemikiran Plato. Menurut Plato, manusia itu seperti orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terkurung dalam dan terbelenggu di dalam gua. Di belakang mereka ada api menyala sementara mereka hanya dapat menghadap ke dinding gua. Beberapa orang budak belian berjalan-jalan di depan api itu sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan bermacam-macam bayangan yang jatuh pada dinding gua. Karena orang-orang tahanan itu tidak dapat melihat ke belakang, mereka hanya menyaksikan bayangan, dan bayangan itu disangka mereka sebagai realitas yang sebenarnya dan tidak ada lagi realitas yang lain. Mereka bahkan tidak dapat melihat bayangannya sendiri. Namun, setelah beberapa waktu seorang tahanan berhasil melepaskan diri. Ia melihat di belakang mereka, yaitu di mulut gua, ada api yang menyala. Ia mulai memperkirakan bahwa bayangan-bayangan yang disaksikan mereka tadi bukanlah realitas yang sebenarnya. Lalu ia diantar keluar gua, dan ia melihat matahari yang menyilaukan matanya.

Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Akan tetapi berangsur-angsur ia pun menginsafi bahwa justru itulah realitas yang sebenarnya, dan ia menyadari bahwa dulu ia belum pernah menyaksikannya. Lalu ia kembali ke dalam gua, ke tempat kawan-kawannya yang masih diikat di situ. yes"> Ia bercerita kepada teman-temannya bahwa yang dilihat mereka pada dinding gua itu bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanyalah bayangan. Namun, kawan-kawannya itu tidak mempercayai perkataannya, dan seandainya mereka tidak terbelenggu, pasti mereka akan membunuh siapa saja yang mencoba melepaskan mereka dari belenggunya. (Lihat Gambar 1)

Perumpamaan ini serupa dengan penggambaran dalam wayang kulit dalam tradisi Jawa. Orang-orang tahanan yang terkurung dan terbelenggu dan bayangan yang jatuh pada dinding gua analog dengan bayangan yang tampak di layar pada pementasan wayang kulit. Keduanya melambangkan raga manusia, diri manusia yang sekunder, yang menampak di alam ini karena adanya sesuatu yang lebih esensial. Budak belian yang berjalan sambil memikul bermacam benda itu serupa dengan wayang kulit yang dihias indah warna-warni tetapi seolah hanya terlihat bayangannya saja, itulah jiwa manusia, diri manusia yang primer, yang esensial tapi kehadirannya justru dilupakan karena sejalan dengan pertumbuhan manusia, kadar keterpikatannya pada bayang-bayang semakin besar. Api menyala yang ada di belakang mereka serupa dengan api yang menimbulkan bayangan terhadap wayang pada layar, itulah ruh yang menghidupkan manusia. Sedangkan matahari yang menyilaukan mata tersebut serupa dengan dalang yang memainkan wayang, itulah Tuhan. (Lihat Gambar 2)

Ibnu 'Arabi pun pernah mengemukakan hal yang serupa bahwa "Barang siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam yes"> ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun."

Memang dalam konsep pramodern manusia itu terbagi atas tiga entitas yaitu corpus, animus, dan spiritus. Corpus (atau corporeus)—yang ditransliterasi menjadi corporeal (terkadang corporal)—adalah material yang terdiri atas matter (materi mati) serta memiliki dimensi fisik (physical). Ia merupakan satu aspek badaniah dari manusia (body atau tubuh) yang berbeda dengan spiritus (spirit atau ruh) dan animus (soul atau jiwa). Corpus juga digunakan juga secara sinonim dengan material object juga sering dipakai untuk menunjukkan komposisi material manusia (atau binatang). Dalam pengertiannya yang meluas corpus adalah sesuatu yang menempati ruang serta terukur, berlawanan dengan incorporeal.

Corpus sebagai entitas yang terbentuk dari materi mati memiliki kecenderungan yang disebut carnal yang berasal dari bahasa Latin, carnalis; dari caro, carnis, yang berarti daging. Istilah tersebut menunjuk kepada kecenderungan hewani atau apa-apa yang ada hubungannya dengan tubuh sebagai sumber idaman, dambaan hasrat, sensualitas, dan seksualitas atau juga menunjuk kepada materialitas an sich, duniawi dan kesementaraan (kontingensial), dan tidak memiliki makna tetap yang dapat kita temukan padanannya dalam Islam sebagai syahwat.

Kemudian animus yang berasal dari bahasa Yunani anemos yang artinya sesuatu yang meniup atau sesuatu yang bernapas. Dalam Islam ditemukan padanannya sebagai nafs (jiwa), dalam Hindu adalah atma, dalam Budha adalah bodhi. Sementara kata psyché yang berasal dari bahasa Yunani pada awalnya digunakan untuk merujuk pada keadaan hidup, kemudian beralih kepada prinsip kehidupan (uap yang tak terlihat, jiwa yang menyebabkan kehidupan) dan kemudian pada sumber kesadaran dan juga pada hati nurani baru kemudian kemudian pada alam jiwa. Mungkin kata psyché ini bisa disepadankan ke dalam Islam dengan istilah nafakh ruh; tidak merujuk kepada ruh secara langsung, melainkan baru pada hembusannya yang membuat corpus terhidupkan.

Jiwa, menurut Plato, adalah penjelmaan wujud spiritual yang bisa mengada secara independen dari materi dan segala sesuatu yang terdefinisikan dan ia adalah inti kedirian manusia, atau kesadaran yang nyata. Jiwa menggerakkan dirinya sendiri (bergerak sendiri) dan merupakan kausa bagi gerakan materi, yang tidak bisa menggerakkan dirinya sendiri. Ia pun abadi (tidak dilahirkan oleh sesuatu yang lain), sederhana serta mencukupi dirinya sendiri. Ia tidak dapat dirusak, dan merupakan sumber bagi semua yang terbaik dan semua kebaikan. Tubuh seseorang dan seluruh elemen-elemen keduniaan yang berinteraksi dengannya merupakan komposit-komposit korporeal (material) sedang jiwa bukanlah sebuah komposit, tidak korporeal melainkan inkorporeal (imaterial). Jiwa ditanamkan dalam (terkurung oleh atau terikat pada) sebuah tubuh. Entitas jiwa ini berjuang keras untuk melawan pengaruh-pengaruh buruk aktifitas dari entitas-entitas sekunder dalam diri manusia yang semakin lama semakin membelenggu dirinya.

Jiwa, menurut Plato lagi, terbagi atas tiga fakultas yaitu hawa nafsu (nafsiah), ruhaniah, dan rasional. Jika ketiga fakultas-fakultas ini selaras dengan ide-ide dan pengetahuan tentang yang baik, maka seorang individu akan memiliki jiwa yang damai. Sedang jika fakultas-fakultas itu terpecah, maka seorang individu akan berada dalam keadaan kacau dan terjadi konflik terus menerus dalam dirinya.

Sebenarnya Plato tidak mengatakan bahwa jiwa memiliki suatu keluasan sehingga dapat dibagi-bagi akan tetapi menguraikan bahwa jiwa mempunyai tiga fungsi yaitu to logistikon (bagian rasional) yang dikaitkan dengan keutamaan kebijakan (phronesis atau sophia), to thymoeides (bagian keberanian) yang memiliki keutamaan kegagahan (andreia) dan to epithymetikon (bagian keinginan) yang mempunyai pengendalian (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk menjamin keseimbangan di antara ketiga fungsi jiwa tersebut maka diperlukanlah keadilan (dikaiosyne).

Dalam Phaidros anggapan tentang tiga fungsi jiwa tersebut dibuatkan sebuah perumpamaannya. Jiwa, menurut Plato, adalah seorang sais yang mengendarai dua kuda yang bersayap di mana kuda yang satu ingin ke atas (fungsi keberanian) sedang kuda yang lain selalu menarik ke bawah (fungsi keinginan). Sedangkan sang sais (fungsi rasional) ingin mencapai puncak langit yang tertinggi, supaya dari sana ia dapat memandang "kerajaan Idea-idea". Akan tetapi karena kesalahan kuda yang selalu ingin ke bawah, mereka pun kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi. Analogi seperti ini terdapat pula dalam agama-agama lain seperti Yudisthira yang mengendarai kereta kuda pada perang Bharatayudha, Dewa Wishnu yang menunggangi Lembu Andini, Penunggang dan kuda tunggangannya serta anjing pemburu dalam Islam, dan banyak lagi. (Lihat Gambar 3)

Dalam dialog Timaios pun Plato menyebutkan bahwa "fungsi rasional" dapat ditempatkan di dalam kepala, "fungsi keberanian" ditempatkan dalam dada sedangkan "fungsi keinginan" di tempatkan di bawah sekat rongga dada, dan Plato pun mengatakan bahwa hanya "fungsi rasional" saja yang bersifat baka, sedangkan bagian-bagian yang lain akan mati bersama tubuh.

Konsep "dualisme" tubuh dan jiwa yang di bawa oleh Plato ini menerangkan bahwa manusia pada awalnya bukan suatu kesatuan yang utuh. Plato mengambil perkataan yang sudah lazim dipakai dalam mazhab Pythagorean bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa (soma sema) dan bahwa jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam penjara—sebuah ungkapan yang juga banyak ditemukan dalam agama-agama lainnya. Dalam Phaidon Plato bahkan menyamakan filsafat dengan "latihan untuk mati", suatu ungkapan yang juga banyak ditemukan dalam agama-agama lain—terutama dalam tradisi mistisismenya. Dengan mencari pengetahuan tentang Idea-idea abadi maka sang filsuf telah memenuhi sedikit keinginan jiwa untuk menghindarkan diri dari kecenderungan-kecenderungan tubuh sehingga sang filsuf sudah siap untuk melepaskan diri dari kebutuhan-kebutuhan badani sama sekali pada saat kematian.

Dalam tradisi sufisme yang ada di Jawa ada sebuah analogi mengenai keris dan sarungnya; sarung keris melambangkan tubuh sementara kerisnya sendiri adalah melambangkan jiwa. Apabila keris tidak pernah dicabut dari sarungnya selama bertahun-tahun maka pada saat keris akan dilepaskan dari sarungnya akan sulit karena terlalu banyak karat yang menjadi pengikat antara sarung dan kerisnya. Maka untuk menghindari hal tersebut si keris harus sering-sering dibuka dan dibersihkan dari karat yang akan mengikatnya pada sarungnya; itulah yang disebut dengan riyadhah dalam tradisi sufisme atau "latihan mati" agar seseorang bisa "mati sebelum mati" yaitu maksudnya mati kehendaknya dari hasrat untuk mengejar dunia dan dipenuhi hanya oleh satu hasrat yaitu hasrat Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan apa yang oleh para pemikir Barat disebut sebagai panteisme yaitu bersatunya kehendak manusia dan kehendak Tuhan.

Selain itu pula dalam Timaios Plato menguraikan tentang kosmologi di mana ia membandingkan jagat raya sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos; sebuah prinsip yang telah lama ada sejak zaman Anaximenes. Sebagaimana manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa, demikian pula dunia. Tubuh dan jiwa diciptakan oleh "Sang Tukang" (Demiurgos), yang untuk maksud itu menengadah kepada Idea-idea sebagai model dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Akan tetapi tetap Plato memandang bahwa jiwa merupakan pusat atau intisari manusia dan menurut Socrates bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Pandangan seperti ini, lagi-lagi, serupa dengan doktrin-doktrin keagamaan lain pada umumnya.

Dalam bentuk yang lebih pragmatis Aristoteles—murid Plato—pun memberikan konsep mengenai jiwa yang serupa dengan Plato sebagai berikut ini. Jiwa adalah bentuk, atau keunggulan yang berfungsi, pada sebuah tubuh yang hidup, jiwa adalah kapasitas organisme untuk bertindak dalam cara tertentu. Jiwa bagi tubuh adalah seperti penglihatan bagi mata. Meneliti kebenaran pernyataan ini hanyalah dapat dilakukan dengan mengkorespondensikan alat penglihatan dengan objek-objek penglihatannya. Selama alat penglihatan manusia hanya dapat menangkap objek-objek material belaka maka jiwa tidaklah hadir sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, tidaklah konsisten jika dikatakan bahwa fungsi-fungsi tertentu (jiwa) dari tubuh seharusnya dapat eksis tanpa sebuah organisme hidup, atau bahwa sebuah organisme hidup dapat eksis tanpa fungsi-fungsi tertentu (jiwa). Inilah yang dinamakan sebagai immaterial form, yaitu bentuk jiwa yang pada saat tertentu dapat dan sungguh-sungguh eksis secara independen dari materi dan objek materi tetapi diciptakan oleh Tuhan untuk mewujudkan dirinya dalam objek material (tubuh) untuk memenuhi watak (atau bentuk) esensialnya.

Jiwa, menurut Aristoteles, memiliki sebuah bagian rasional dan bagian nonrasional (yang dapat dibayangkan meliputi bagian-bagian jiwa yang tidak rasional). Bagian rasional itu sendiri terbagi atas dua bagian, pertama, yang tidak sepenuhnya rasional, berkenaan dengan urusan-urusan duniawi, kehidupan sehari-hari dan kebutuhan-kebutuhan jasmani seperti kebutuhan makan, yes"> pendambaan, dan hasrat. Selama nafsu dan hasrat ini dikontrol oleh rasio (atau selama selaras dengan rasio), maka ia dapat diklasifikasikan sebagai yang rasional. Jika tidak, irasional. Kebaikan moral (moral virtues) adalah kontrol rasional atas kehendak dan nafsu (atau penyesuaian kehendak dan nafsu kita dengan rasio). Kebaikan moral melibatkan sebuah pilihan tentang cara penanganan hasrat dan nafsu kita—dengan rasio atau tidak.

Kemudian entitas ketiga yaitu spiritus, yang berarti “angin,” memiliki kesamaan arti dengan kata ruh (seakar kata dengan rih yang juga berarti angin) dalam Islam. Istilah tersebut menunjuk kepada sesuatu yang merupakan napas kehidupan, kausa hidup yang dipahami sebagai uap halus atau udara yang menghidupkan organisme. Dalam manusia terdapat sesuatu yang dipahami sebagai entitas yang ada didalam tubuh dan jiwa. Ia juga sering dipandang sebagai sebuah hadiah dari Tuhan dan/atau bahkan sebagai bagian dari ruh Tuhan sendiri. Ia belakangan digunakan juga untuk menjelaskan agen imaterial yang menyebabkan kesadaran (termasuk kehendak) dan fungsi-fungsi kehidupan seperti pertumbuhan, keinginan makan, dan perasaan; dalam beberapa pandangan juga sebagai kausa dari hati nurani. Secara keliru ia sering dipandang sebagai “jiwa” yang tak bertubuh seperti hantu. Ruh juga terkadang dipandang memiliki karakteristik-karakteristik yang serupa dengan jiwa seperti sifat material, tidak bisa diukur, abadi, dan kekal.

Entitas spirit inilah yang senantiasa dikaitkan dengan religiusitas, suatu usaha pengenalan diri sendiri, ketuhanan, dan senantiasa suci tak terkotori oleh hal-hal yang rendah. Spiritual merujuk kepada sesuatu yang imaterial, inkorporeal yang dibentuk oleh ruh. Ia juga merujuk pada fakultas-fakultas yang lebih tinggi (intelektual, religius) dan nilai-nilai pikiran, juga merujuk pada nilai-nilai manusiawi nonmaterial seperti kebaikan, cinta, dan kesucian serta pada perasaan-perasaan moral dan religius. Sangat kontras dengan carnal.

Oleh karena itu pengertian spiritualism dalam metafisika menjelaskan tentang pandangan bahwa realitas puncak yang mendasari (atau fondasi dari realitas) adalah ruh yang merupakan alam semesta atau meliputi alam semesta pada setiap level aktivitasnya dan merupakan kausa bagi aktivitas, aturan, dan arahnya serta merupakan satu-satunya penjelasan rasional dan lengkap tentang eksistensi alam semesta. Ada juga yang pandangan bahwa hanya ruh absolut yang eksis (dan hasilnya adalah ruh-ruh yang lebih kecil seperti manusia), dan semua yang lain adalah produk dari Ruh Absolut.

Sebenarnya baik Socrates, Plato maupun Aristoteles masih menguraikan banyak lagi karakter dan fakultas-fakultas lainnya yang diri manusia, akan tetapi ada baiknya detail-detail seperti itu dibahas sendiri dalam artikel tersendiri yang khusus membahas pemikiran mereka secara lebih komprehensif pada kesempatan lain. Insya Allah.


II. sebagai Tujuan Akhir Pengetahuan Diri Manusia

Pengenalan diri sendiri yang diajarkan oleh Socrates biasa dikenal dengan istilah the Socrates quest, sebuah pencarian untuk menemukan esensi (universalia, bentuk-bentuk ideal) yang membuat sesuatu menjadi sebagaimana adanya, dan yang menurutnya sesuatu harus berperilaku, dan untuk mengelola tindakan individu agar sesuai dengan esensi-esensi itu, yang wajib dan rasional bagi dan berlaku di mana-mana demi yang terbaik. Ini pada akhirnya digunakan untuk menguji kehidupan dan pengetahuan diri sendiri yang terkenal dengan semboyan “Gnothi Se Auton” yang sering pula dikaitkan dengan daimon oleh Socrates.

Istilah ini berasal dari bahasa Yunani daimón yang juga ditransliterasi sebagai daemon atau demon. Socrates menggunakan daimon (dan daimonion atau daemonion) untuk merujuk pada sebuah suara batin yang digambarkan sebagai ruh yang ada di cuping telinganya, yang mengingatkannya tentang, atau melarangnya melakukan tindakan tertentu. Kita dapat melihat padanan dari ruh di cuping telinga ini dalam kisah pewayangan Bima mencari Dewa Ruci, yang merujuk pada makna Ruh Suci.

Daimón dapat digunakan secara bergantian dengan theo, seorang dewa (malaikat). Secara umum ia berarti ketuhanan atau kekuatan ilahi. Keilahian yang karakteristiknya berada di antara dewa-dewa tradisional (malaikat) dengan manusia yang sangat diidealkan, yang menjadi penengah (seperti malaikat penjaga) antara manusia dan Tuhan. Dalam Symposium Plato daimón menyampaikan pada Tuhan doa manusia dan mengungkapkan pada manusia perintah-perintah Tuhan. Socrates menyebut daimonion ti, sesuatu yang menyerupai Tuhan—dalam bahasa Jawa ditransliterasi menjadi “gusti” dengan “g” kecil—atau yang lainnya, yang menghendakinya untuk menahan diri dari, atau melakukan tindakan tertentu. Daimón juga merujuk pada kejeniusan seseorang, peruntungan atau nasib seseorang dan kecenderungan ruh seseorang dan juga dilekatkan pada seorang individu ketika dilahirkan yang menentukan nasib atau peruntungan individu tersebut.

Daimón juga ditransliterasi menjadi conscience yang berasal dari bahasa Latin, conscire, tahu, sadar, dari con, dengan, bersama, dan scire, tahu. Istilah ini juga merujuk kepada perasaan, rasa, atau kesadaran tentang apa yang harus dilakukan seseorang, dan/atau tentang apa yang secara moral adalah benar, baik, dan lainnya. Tetapi dalam filsafat Barat Modern istilah ini mengalami penurunan makna menjadi moral sense yang lebih menyerupai intuitif atau kekuatan pengarah untuk perilaku moral yang tumbuh dari inti kemanusiaan seseorang. Istilah ini pun mereka tafsirkan merujuk kepada fakultas interpretasi yaitu pikiran yang memiliki berbagai fakultas yang merupakan kausa bagi tindakan rasional, dan akhirnya pada interpretasi behavioristik yaitu “hati nurani” sebagai penjumlahan total dari respon-respon individu yang dikondisikan terhadap stimuli internal dan eksternal. Lebih jauh akan kita lihat perubahan dan pendangkalan makna dari istilah daimón ini dalam pembahasannya di era modern nanti.

Aristoteles menggunakan istilah eudaimonia yang juga berasal dari bahasa Yunani, dan berarti kesejahteraan spiritual yang vital, kebahagiaan. Terdiri dari eu, yang bermakna baik, suci dan daimón, yang bermakna spirit, ruh yang secara keseluruhan simetri dengan Ruh al-Quds, Ruh Suci, kekuatan batin yang jenial. Istilah Ruh Al-Quds sendiri dalam Islam masih sering disalahartikan sebagai Jibril atau Ruh al-Amin, malaikat pembawa wahyu. Kata inilah yang digunakan Aristoteles untuk kebahagiaan yang dicapai ketika potensi penuh seorang individu untuk sebuah kehidupan yang rasional sepenuhnya benar-benar terealisasi dan individu tersebut telah mengekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka ragam, sesuatu yang pada nyatanya ingin dicapai sesuatu sesuai dengan watak inherennya.

Misalnya bahwa yang baik bagi individual adalah apa-apa yang sesuai menurut fitrah esensialnya (rasio) dan pengembangan fakultas rasionalnya secara penuh. Kebaikan tidak selalu identik dengan keinginan seseorang, karena keinginan tidak didasarkan pada watak rasional esensial seseorang. Hanya ketika seseorang berkehendak untuk mengekspresikan watak esensialnya dan berupaya melakukan hal ini maka keduanya menjadi koheren satu sama lain. Upaya keras untuk realisasi-diri ini merupakan esensi menjadi manusia. Eudaimonia kemudian ditransliterasi menjadi Good dalam bahasa Inggris atau Happiness. Begitu pula bagi Plato dan Phytagoras bahwa kebaikan sesuatu adalah eksistensinya dalam sebuah tatanan (proporsi) yang cerdas (rasional), dan dalam kasus individual ia adalah wujud individual yang diaktifkan oleh ide-ide intelektual (rasional) tertinggi.

Dalam pemikiran Aristoteles sifat esensial bagi eudaimonia adalah autarkeia yang merupakan, realisasi diri, dan kehidupan yang kontemplatif. Auterkeia, terkadang disebut autarkia, dari bahasa Yunani artinya mencukupi sendiri atau otonomi yang diperkirakan sebagai karakter prinsipil bagi kebahagiaan dan kebaikan manusia dalam sistem etika Yunani. Atau contemplation, dari bahasa Latin artinya contemplari, merenung, menatap dengan penuh perhatian, atau perenungan, dalam metafisika, hidup berpikir demi berpikir yang menghasilkan kebahagiaan yang dicapai melalui aktualisasi fakultas individual yang tertinggi, rasio (eudaimonia). Dalam epistemologi dikemudian hari, istilah ini sinonim dengan pengetahuan atau tindakan mencari pengetahuan; aktivitas berpikir atau menelaah. Sedang dalam pengertian agama, sinonim juga dengan meditasi, tindakan berupaya untuk mencapai objek sipitual atau memperoleh penampakan spiritual. Dalam mistisisme, mystical contemplation atau contemplation of the mystic digunakan dengan merujuk pada metode untuk mengalami keterserapan penuh atau parsial pada Yang Esa.

Pencarian dan penemuan diri yang sejati, yaitu ketika seseorang dibimbing oleh daimón-nya adalah agar manusia menemukan aretè-nya. Aretè, dari bahasa Yunani berarti sesuatu yang baik dan unggul, dalam literatur Yunani, bila diterapkan pada seseorang aretè itu mengungkapkan kualitas-kualitas seperti keberanian, kecakapan, kegagahan, dan kekuatan. Dalam pengertian moral ia berarti keluhuran, kemanfaatan, dan kebaikan dalam memberikan pelayanan dan sering juga diterjemahkan sebagai kebajikan (virtue). Makna filosofis dari aretè berkaitan dengan keunggulan yang dimiliki (functioning excellence). Bila sesuatu/seseorang menjalankan fungsi yang dirancang untuknya dan ia melakukannya dengan sempurna maka ia dipandang memiliki aretè; ia cakap di bidang itu. Misalnya, aretè sebuah alat pangkas adalah untuk memotong dahan-dahan pohon di mana ia dirancang untuk tujuan itu dan melakukan tugas itu lebih baik daripada yang lainnya. Sejauh ia sanggup melakukan fungsinya dengan baik, ia mempunyai aretè.

Untuk menentukan aretè manusia, orang Yunani bertanya: “Apa yang unik pada manusia? Fungsi apa yang dilakukan manusia tapi tak dapat dilakukan oleh subyek lain dengan cara yang sama baiknya?” Bukan penggerak, bukan pertumbuhan, bukan penginderaan, bukan prokreasi; fungsi-fungsi ini serta fungsi-fungsi lainnya juga dapat dilakukan oleh makhluk lain seperti binatang-binatang. Aretè seorang manusia akan ditemukan pada sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Itulah rasio. Penggunaan fakultas rasiolah yang membedakan manusia dari wujud-wujud yang lain. Aretè seorang manusia terdiri atas perkembangan dan penggunaan rasio hingga pada taraf keunggulan fungsinya yang tertinggi. Bagi Aristoteles, hal ini pun merupakan puncak kebahagiaan manusia (eudaimonia). Dalam agama Hindu kita menemukan padanan dari aretè tersebut pada “swadharma”. Kesimetrian gagasan tersebut menunjukan bahwa misi hidup yang unik adalah bagian yang sangat penting dalam pengetahuan tentang diri manusia.


III. Nilai-nilai yang Diturunkan dari Eudaimonia dan Aretè

Konsep penemuan diri, (eu)daimon(ia) dan aretè inilah yang dimaksud Plato dengan freedom, yaitu individu yang diatur (dikuasai, ditentukan) oleh rasio, dicerahkan oleh pengetahuan tentang kebaikan ideal; mematuhi rasio tidak berarti menjadi pelayan nafsu serta tindakan-tindakan yang terpaksa dan tanpa pengetahuan dan individu tersebut memiliki kehendak yang dibimbingi oleh kebenaran (dikaiosyné). Plato mengasumsikannya sebagai ideal keutamaan rasio manusia, dan penundukan kehendak manusia pada rasio. Kehendak Tuhan sama sekali bebas karena diarahkan oleh kebaikan sempurna.

Adapun dikaiosyné adalah kata yang paling sering digunakan oleh Plato untuk apa yang telah diterjemahkan sebagai keadilan tetapi yang secara umum berarti perasaan batin tentang kebenaran; mengetahui kapan harus berlaku adil dan benar. Ada konotasi-konotasi dalam bahasa Yunani dan yang serumpun dengannya untuk konsep-konsep seperti kebenaran, sah menurut hukum, dan membenarkan. Plato menggunakan kata itu secara jelas dan dalam beberapa pengertian, yaitu tanggapan intuitif—secara prinsip adalah ciri raja-filosof, yang telah mencapai pengetahuan tentang bentuk-bentuk ideal—terhadap situasi yang secara otomatis mengekspresikan perasaan tentang apa yang benar, terbaik dan paling rasional bagi situasi itu.

Dalam Islam pun terdapat konsep serupa dengan Plato mengenai keadilan tersebut yang dikontraskan dengan kedzaliman. Kedzaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, ini berkaitan dengan konteks pengertian akan kedirian manusia yang sejati, aretè-nya. Sedang keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, pada fungsi dan tujuan penciptaan dirinya yang sebenarnya, aretè-nya.

Adapun kebaikan yang didapat dari aretè ini adalah agathon, yang dalam bahasa Yunani berarti baik. Dalam Platonism, ini adalah sebutan untuk bentuk kebaikan tertinggi; gagasan puncak. Aretè—keunggulan yang terdapat dalam sesuatu—adalah agathon dari sesuatu itu, kebaikannya, dan kebaikannya berhubungan dengan apa yang dapat dipenuhinya atau diaktualisasikannya dari potensinya yang unik. Istilah essence dari Aristoteles yang telah ditransliterasi ke dalam bahasa Inggris juga menjelaskan bahwa sesuatu adalah sesuatu itu dalam bentuk akhirnya yang utuh. Ia merupakan watak esensial (prinsip internal) dari sesuatu yang membuatnya sebagaimana adanya pada keadaan pada keadaan apapun dalam perkembangan teleologisnya dan membuatnya menjadi apa yang akan menjadi dirinya pada akhirnya.


IV. Recollection sebagai Metode Penemuan Eudaimonia dan Aretè

Dalam istilah Plato pencarian manusia untuk mengenal dirinya sendiri ini dikenal pula dengan istilah archetypes—dari bahasa Yunani yaitu archè, pertama, dan typhos, cetakan. Istilah ini menjelaskan mengenai model-model asli yang darinya benda-benda terbentuk, atau yang darinya benda-benda disalin, misalnya, bentuk-bentuk ideal Plato (indah, benar, baik, adil) dipandang sebagai archetype. Dalam beberapa interpretasi tentang Plato, yang baik adalah satu-satunya archetype, yang darinya semua bentuk lain menerima wujudnya.

Istilah ini kemudian mengalami penurunan maknanya yang cenderung psikologis dan materialistik ketika digunakan dalam psikologi Carl Jung sebagai pola-pola pemikiran dan perumpamaan yang muncul dari ketidaksadaran kolektif manusia yang disebutnya sebagai citra primordial atau simbol-simbol archetypal yang ditemukan, misalnya, dalam mitos-mitos yang berulang. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel tersendiri dan sedikit disinggung dalam pembahasan konsep manusia pada Era Modern.

Yang terkait dengan archetype dalam hal ini adalah anamnesis—bahasa Yunani yang berarti pengingatan, teringat kembali, kepulihan mental—yaitu kembalinya sebuah pengalaman masa lalu ke dalam ingatan. Ia juga merupakan aktivitas pengingatan kembali pengetahuan yang yes"> diperoleh dalam eksistensi sebelumnya. Dalam Plato, anamnesis adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengingatan kembali bentuk-bentuk sempurna yang secara batini dimiliki jiwa sebagai pengetahuan a priori atau telah dialami dalam eksistensi sebelum penjasadannya. Istilah ini sering dirujuk juga sebagai doktrin Plato tentang pengingatan kembali atau recollection.

Plato pun membagi dua tingkat pengetahuan: pertama, pengetahuan yang secara abadi sempurna, tak dapat berubah, tak kasat mata, bentuk-bentuk abstrak (archetype, esensi-esensi) dan kedua, pengetahuan tentang objek-objek yang dapat dilihat, terukur (terinderai). Tujuan filsafat adalah untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang dunia bentuk yang nyata. Hal ini dicapai melalui rasional murni (kontemplasi, penalaran tipe matematis): akal abstrak yang mencerap bentuk-bentuk ideal dari objek-objek partikular merupakan imitasi tidak sempurna. Plato menyebut pengetahuan ini epistemé. Pengetahuan awam hubungannya dengan pemahaman atas dunia inderawi melalui persepsi, pengalaman, observasi partikular-partikular. Plato menyebut pengetahuan ini doxa: pendapat. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa detail-detail dari fakultas-fakultas dalam diri manusia ini sebaiknya dibahas lebih jauh dalam artikelnya tersendiri.

Home | Kesaksian | Kisah | Waktu | Jejak Pemikiran | Wacana | Senja Kala | Cakrawala | Jalan kecil | Simulakra | Budaya Kota | Mata Hati | Jendala | Koleksi | Tamuku | GuestBook

This site was last updated 07/05/03