Senja Kala
Home
Kesaksian
Kisah
Waktu
Jejak Pemikiran
Wacana
Senja Kala
Cakrawala
Jalan kecil
Simulakra
Budaya Kota
Mata Hati
Jendala
Koleksi
Tamuku
GuestBook

 

Sinyal dari Dunia Bawah



Oleh F Budi Hardiman

APA yang hilang dengan rontoknya imperium komunisme Eropa? Kapitalisme dan liberalisme bukan hanya kehilangan pembanding. Rancangan-rancangan agung tentang masyarakat dan sejarah juga perlahan kehilangan plausibilitasnya. Tapi vacuum utopianisme dalam "masyarakat tanpa musuh" (U Beck) ini hanyalah efek di permukaan. Efek mendasar yang mungkin masih kurang disadari adalah kaburnya skema waktu yang selama ini diandaikan begitu saja. Dengan suatu rancangan, kita dipukau oleh fiksi tentang sekuensi momen-momen yang datang dan lewat. Ada awal, tahap-tahap, dan tujuan yang terkalkulasi. Fiksi itu perlahan sirna dengan berakhirnya rancangan. Dan, manakala kesahihannya ditarik dari keseharian politik global, proses-proses sosial menjadi lebih tak terduga, penuh kejutan dan improvisasi. Tampaknya pengalaman dunia sedang bergeser dari great designs ke events, dari keajekan sekuensi waktu ke denyut moods.

Dunia sedang terbenam dalam keseharian saat menara kembar WTC dirontokkan lewat aksi terorisme pada 11 September 2001. Indonesia sedang tertidur ketika bom menggelegar di Bali setahun satu hari setelahnya. Tak ada prabayang untuk peristiwa semi-apokaliptis itu. Dunia juga kehilangan pola dalam reaksinya. Tragedi itu merupakan "patahan" dari sekuensi momen-momen dalam keseharian kita. Namun, ada sesuatu yang instruktif dari prahara global ini. Melaluinya orang dapat "mengintip" situasi politik global dengan lebih transparan.

Politik arcanum (kata Latin yang berarti "rahasia") kaum teroris dan perang melawan terorisme meningkatkan intensitas panik massa. Jam dan kalender tetap ada, tetapi manakala ancaman kekerasan merata secara global, kecemasanlah (Angst) yang mengembalikan waktu pada makna aslinya sebagai "yang datang tak terduga". Waktu adalah kemungkinan untuk mati (Heidegger). Waktuku habis dengan kematianku. Dalam arti ini, teror tidak bergerak "dalam waktu", melainkan melekat pada waktu. Dia datang dalam kebungkaman dan ketakterdugaan seperti maut dan menghalau fiksi keseharian.

Banalitas, rahasia, dan waktu

Fakta dalam globalisasi informasi dewasa ini bukan sekadar bahwa telinga dibanjiri oleh informasi yang tak selalu perlu, melainkan juga bahwa telinga mengalami "kemunduran dalam mendengarkan" (Adorno). Speed adalah ukuran segala sesuatu, dan banalitas, kedangkalan pengalaman, adalah harga yang harus dibayar. Cepat berkuasa, cepat kaya, cepat mengonsumsi. Manakala rentetan informasi dan obyek-obyek konsumsi menghunjam kesadaran, pendengaran kehilangan ketajamannya, pikiran terlelap, dan perasaan menjadi kebal. Ketumpulan persepsi dan imunisasi kecemasan ini berbahaya karena dapat mengecoh. Kedahsyatan arus global dalam informasi dan barang-barang konsumsi mengacau organisasi persepsi dan merutinkan abnormalitas menjadi "normal".

Manakala rentetan peristiwa kolektif-seperti kerusuhan, pengungsian massal, dan perang suku-menjadi obyek tayangan televisi, maut yang melekat di dalamnya kehilangan sengatnya dan berubah menjadi ketegangan yang nikmat. Manusia kehilangan keseriusan eksistensialnya. Hanya peristiwa yang lebih keji, yakni lebih banyak dan lebih cepat menghasilkan korban berhak menduduki memori. Yang kurang dari itu cepat dilupakan. Dengan kacaunya organisasi persepsi yang memampukan untuk mencandra singularitas peristiwa, kekejian kehilangan wajah sataniknya dan berubah menjadi banalitas keseharian. Kedahsyatan bom di Bali segera menggeser tragedi-tragedi lain ke luar dari medan persepsi. Kasus-kasus korupsi pejabat diabaikan. Bisa jadi persepsi yang membodoh ini yang bertanggung jawab atas hilangnya kepedulian kelas atas dan menengah negeri ini terhadap krisis dan para korbannya. Krisis kehilangan wataknya yang memprihatinkan karena konsumsi tetap utuh seperti sedia kala. Dan, konsumsi adalah tempat pelarian tercepat dari kecemasan yang tak tertanggungkan yang timbul dari kesadaran akan krisis. Dunia seakan berjalan sebagaimana biasanya: cepat, datar, dan pucat, meski sesungguhnya mencemaskan.

Banalisasi pengalaman lewat globalisasi ekonomi pasar merupakan homogenisasi efektif bagi kesadaran waktu. Dalam semboyan time is money, waktu sebagai kecemasan eksistensial divulgarisasi menjadi resources yang langka, dapat habis, tetapi sekaligus terkalkulasi. Komunikasi juga kehilangan keutuhannya dan dipreteli menjadi informasi dalam kecepatan bit. Di dalam sebuah dunia yang segalanya ingin dibuka dan dihitung, menarik untuk mengamati fenomena yang penuh rahasia dan tak terduga, seperti misalnya: teror. Demokrasi yang beroperasi dengan gramatika komunikasi verbal dalam ruang publik menemukan teror sebagai antipoda. Gramatika teror adalah kebungkaman dan rahasia.

Adalah Niklas Luhmann, mamut teori sistem Jerman, yang menegaskan pertautan antara rahasia, kebungkaman, dan waktu. "Kebungkaman", demikian tulisnya, "ada lebih untuk lamanya (durasi), berbicara lebih untuk rentetan peristiwa di dalam waktu. Konsep rahasia berguna untuk kemungkinan ganda ini. Rahasia mengajar ke arah: tidak berbicara, melainkan bungkam." Kebungkaman adalah "jeda" dalam gramatika komunikasi verbal dan publik. Dan, jeda merupakan spasialisasi (jarak) sekaligus temporalisasi (penangguhan) proses komunikasi. Kata-kata tanpa jeda tak bermakna. Jeda turut memaknai kata, karena di situ pembicara dan pendengar mempersepsi, berpikir, tapi juga cemas. Jeda dapat menguak totalitas makna. Diterjemahkan dalam gramatika sosial: gangguan yang mematahkan keseharian global-kapitalistis yang banal itu justru menyingkap kepalsuannya yang tak pernah dipersoalkan. Ketimpangan global menjadi tembus pandang. Aksi teror seakan ingin menancapkan impresi kuat ini di tengah-tengah lautan banalitas keseharian. Ia dikutuk, tetapi impresinya malah menguat dan menjadi generator massa simpatisan atau pengutuk. Tapi, ia berakar pada rasa frustrasi menghadapi marjinalisasi dan pluralisme dunia.

Politik arcanum sebagai sinyal marjinalisasi

Jika berbicara dan bungkam dilihat sebagai kode akhir dari komunikasi, lanjut Luhmann, berbicara merupakan nilai positif dan bungkam merupakan nilai negatif dari kode ini. Berbicara adalah kemampuan kontak, bungkam adalah refleksi (Luhmann). Seperti pada AC, jika udara panas, termostat akan mengirim signal "terlalu panas", lalu AC hidup, atau "terlalu dingin" dan AC mati, agar ruang tetap "nyaman". Begitu juga dalam komunikasi: bungkam adalah sinyal negatif dari kejenuhan, keterbatasan, atau ketakmampuan berkomunikasi. Dia mencipta reflection space bagi proses komunikasi selanjutnya. Peristiwa teror dapat dibaca sebagai "sinyal negatif" dari kode komunikasi verbal. Ia adalah "fase bungkam" dalam komunikasi global. Politik arcanum mengirim sinyal dari dunia bawah yang penuh rahasia itu ke dunia atas kapitalisme global. Teror adalah suatu subteks bisu yang memenggal teks cerewet komunikasi dalam ruang publik. Bunyi propagandanya: "Dunia yang membusuk harus diselamatkan dengan cara kita."

Orang seperti Imam Samudra atau Amrozi, misalnya, adalah korban marjinalisasi dalam kapitalisme global. Sia-sia menemukan yang satanik dalam sikap keseharian mereka; orang justru harus mulai dari "sikap biasa-biasa" mereka terhadap aksi satanik yang telah menelan lebih dari 200 jiwa itu. Sikap itu banal, seperti juga sikap-sikap massa konsumen di metropolitan-metropolitan, begitu banalnya, sehingga mereka merasa "tidak melakukan sesuatu yang zalim yang dilarang Allah", melainkan sebaliknya merasa berkorban demi kemenangan melalui "jalan Allah" (Kompas, 5/12/02). Dalam globalisasi ekonomi pasar ini, identitas kolektif terkikis, maka ego kehilangan aura imortalitasnya. Pahlawan pun dibuat mustahil, karena semua orang sama di hadapan uang, yakni atom-atom homogen yang tercerabut dari komunitasnya. Ketidaknyamanan karena ketercerabutan ini disudahi di dalam sebuah "sistem nilai tertutup" (H Broch) yang memuat fiksi tentang keutuhan dunia religius total. Di situ fanatisme dan heroisme menyingkapkan diri sebagai sindrom pelarian dari kecemasan akibat kaburnya nilai-nilai dan panik menghadapi pluralisme. Nyamanlah menyerahkan nurani ke tangan sang pentolan.

Banalitas sikap pelaku teror adalah teks terbuka. Namun, subteks di bawahnya tidak banal, justru menyingkap radikalitas persoalan ketimpangan global. Marjinalisasi telah membelah dunia menjadi dua, pemenang dan korban dari globalisasi. Dan, "marjinalisasi" menjadi kian kompleks, tak harus berarti miskin ekonomis, melainkan juga proses eksklusi dari ruang publik global. Dalam tegangan antara globalisasi dan partikularisasi, mereka yang terlindas tidak memperoleh peluang berpartisipasi pada "komunikasi global" yang sudah dijaga dengan norma-norma Utara. Ketakberdayaan menghadapi hegemoni itu ikut bertanggung jawab atas praktik politik arcanum sebagai "sinyal negatif" (kebungkaman) dari komunikasi global. Orang menggunakan rahasia, jika menganggap komunikasi melayani dominasi belaka. Kekerasan itu bungkam, karena verbalisme berakhir di sini. Namun, yang bungkam ini "berbicara" dengan rahasia, karena hanya dengan jalan ini ketakberdayaan bermetamorfosis menjadi kekuasaan. Sinyal negatif dari tersumbatnya komunikasi inilah subteks yang perlu dibaca dengan arif.

Waktu sebagai kecemasan global

Mungkin tak perlu lagi perang nuklir untuk menghancurkan dunia ini. Bahaya yang kita hadapi lebih kompleks: perlawanan atas tatanan global merupakan proses endogen dari dalam masyarakat sendiri yang mungkin tak perlu massa lagi, melainkan cukup gerilyawan-gerilyawan kota yang siap mati untuk membunuh ratusan atau ribuan orang lain. Mereka bisa dirasuki ideologi, tetapi juga bisa bertindak psikopatologis dan spontan tanpa arah karena frustrasi semata. Agama, juga nilai-nilai kultural, hanyalah kendaraan untuk mengangkut ressentiment dan rasa tak berdaya. Dari situ masyarakat dan dunia dapat tercabik-cabik bukan oleh mereka yang berteriak dalam demokrasi, melainkan yang bungkam, menyelinap, dan menyerang.

Ancaman itu endogen dari antara aku dan kamu. Dari titik peristiwa teror, panik menular dan mengglobal lewat jaringan informasi global. Maka itu, dewasa ini tak seorang pun boleh meremehkan persoalan selokal apa pun karena potensi globalisasi rasa panik ini. Dan, dari panik itulah waktu tidak lagi dihitung dari arloji atau kalender, melainkan dari karakter ancaman kematian yang ditimbulkan dari dunia bawah politik arcanum mereka yang dimarjinalisasikan. Tak ada gerak maju "di dalam skema waktu" di sini; yang ada gerak naik-turunnya kecemasan eksistensial manusia. Dengan hancurnya monster beton WTC, menjadi benarlah pendapat Hobbes bahwa semua manusia, juga yang kelihatan ringkih, sama dalam hal potensinya untuk menghancurkan yang lain, maka sama berbahayanya.

Jeda keseharian kapitalisme global selayaknya membuat kita lebih terjaga, dalam dunia macam apa kita hidup. Apatisme, oportunisme politis, dan konsumerisme ala American way of life tanpa bela rasa terhadap mereka yang tersisih hanya menabung ressentiment dari dunia bawah yang bungkam dan keras. Subteks mereka harus disimak dan dibaca dengan bijak, justru untuk menghalau sikap ignorance dan ilusi keseharian kita. Kutuklah kekerasan, tetapi juga bongkarlah ketidakadilan struktural yang melatarbelakanginya! Dengan kesadaran ini, manusia di era terorisme ini melangkah tak hanya ke dalam kalender yang baru, tetapi juga-mendahului keberadaannya sekarang-melangkah ke dalam kecemasan di depan.

F Budi Hardiman, pengajar di STF Driyarkara.

Home | Kesaksian | Kisah | Waktu | Jejak Pemikiran | Wacana | Senja Kala | Cakrawala | Jalan kecil | Simulakra | Budaya Kota | Mata Hati | Jendala | Koleksi | Tamuku | GuestBook

This site was last updated 07/05/03